Teori sosiologi pada tataran klasik ditandai dengan hadirnya teoretisi-teoretisi atau para tokoh "peng-konstruk" teori-teori sosiologi pada periode awal, beberapa tokoh tersebut antara lain; Auguste Comte, Herbert Spencer, George Simmel, Thorstein Veblen, Karl Marx, Max Weber dan Emile Durkheim.[1] Khusus tiga teoretisi yang disebut terakhir, yakni Marx, Weber dan Durkheim kerap dijuluki sebagai “tiga raksasa Eropa”, tiga teoretisi ini pula yang mendirikan kerangka referensi utama perkembangan teori sosiologi dalam tahapan modern.[2]
Seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa teoretisi sosiologi klasik memberikan kerangka berpijak bagi teoretisi sosiologi modern, perkembangan lanjutan dari teori sosiologi klasik memunculkan tahapan teori sosiologi modern yang utamanya dicirikan dengan penolakan atas sejarah.[3] Tahapan ini ditandai dengan munculnya teoretisi-teoretisi pewaris dan pengembang teori-teori sosiologi klasik seperti Lewis Coser dan Ralf Dahrendorf yang membawa perkembangan pada konsep pertentangan kelas Marx, begitu juga dengan Karl Mannheim dan Peter Berger yang membawa kemajuan pada konsep pemahaman subyektif (baca: verstehen) Weber. Tak ketinggalan, semisal Talcott Parsons dan Robert K. Merton yang “setia” menelaah lebih jauh konsep organisme sosial Durkheim sehingga menghasilkan tradisi struktural fungsionalisme yang sangat berpengaruh dalam Sosiologi.
Kebekuan teori sosiologi modern karena sifatnya yang ahistoris, universal dan rasional pada akhirnya melahirkan resistensi berupa teori kritis yang lahir melalui mahzab frankurt serta teori sosial postmodern.[4] Kelahiran teori kritis dilatarbelakangi oleh usaha menghidupkan kembali tradisi kritis marxisme yang telah lama mengalami kebekuan dalam rezim komunis soviet, teori ini juga sering disebut-sebut sebagai percabangan marxisme yang paling jauh meninggalkan induknya.[5] Setidaknya, terdapat empat komponen yang mendasari teori ini, antara lain filsafat Kant, Hegel, Marx dan Freud. Masing-masing dari tokoh tersebut memiliki pemahaman yang berbeda terhadap kritik, gabungan dari ketiganya menghasilkan apa yang disebut dengan “kritik ideologi”.[6] Selain melakukan kritik atas positivisme berikut instrumennya yang “bebas nilai”, teori kritis juga menyusun kritiknya terhadap kehidupan masyarakat modern yang dipandang begitu “serakah” dan diskriminatif-dampak dari teori modern yang memberi jalan bagi status quo dan kelanggengan kekuasaan.
Teori sosial postmodern yang juga lahir sebagai konsekuensi teori sosiologi modern, dicirikan dengan relativisme, irasionalisme dan nihilisme, berlawanan halnya dengan universalisme, ahistorisisme dan rasionalisme dalam teori sosiologi modern.[7] Beberapa tokoh yang terkenal dalam pemahaman postmodern di antaranya Jacquess Derrida dan Michael Foucault. Teori ini melancarkan kritik atas pergeseran produksi dari manufaktur pada produksi informasi yang menjadi bagian sektor jasa, masyarakat yang tidak lagi bekerja guna memenuhi kebutuhan hidup melainkan gaya hidup serta ekonomi hasrat (libidinal economy) yang bergerak di atas keinginan memenuhi hasrat dan menciptakan hasrat-hasrat baru-tidak lagi berkonsentrasi pada produksi bagi efisiensi dan efektivitas. Kubu ini dengan keras juga mengumumkan kematian pilar-pilar metanaratif modernisme seperti dialektika roh, emansipasi proletar, hermeunetika dan sains.[8]
Dapat dilihat, teoretisi-teoretisi kritis dan teori sosial postmodern yang muncul sebagai respon atas teori sosiologi (sosial) modern dengan demikian menyebabkan nihilnya pewarisan beserta pengembangan lanjutan teori-teori sosiologi modern oleh teoretisi-teoretisi sosial kritis dan teori sosial postmodern, hubungan yang terjalin di antaranya sebatas pada kritik-kritik yang dilancarkan satu sama lain.
[1] Lihat Sutaryo dan Purwanto, “Silabus Mata Kuliah Teori Sosiologi Klasik”, Sosiologi FISIPOL UGM Yogyakarta.
[2] Baca Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, UI-Press, Jakarta, 1986, h. vii.
[3] Lihat Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995, h. 20 dan George Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta, 2006, h. 631.
[4] Varian teori sosial kritis lain semisal teori feminis dan cultural studies, untuk lebih jelasnya baca Ben Agger, Teori Sosial Kritis, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2006. h. 19.
[5] Mahzab frankurt lebih condong pada pemikiran Marx muda yang kritis dan humanis ketimbang Marx tua yang positivis dan anarkis. Untuk lebih jauhnya baca Baskara T. Wardaya, Marx Muda, Buku Baik, Yogyakarta, 2003 dan akses pula Amoyepai, Teori Kritis dan Varian Paradigmatis, http://www_amoyepai.com_files\oasisi-i.htm
[6] Lihat Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Yogyakarta, 2006, h. 46-47.
[7] George Ritzer-Douglas J. Goodman, loc. cit. Bagi Ritzer, pembahasan atas postmodern dapat diklasifikasikan dalam tiga bentuk, antara lain postmodernitas, postmodernisme dan teori sosial postmodern. Postmodernitas mengacu pada periode historis yang umumnya dilihat menyusul era modern, postmodernisme mengacu pada produk-produk budaya, sedangkan teori sosial postmodern mengacu pada cara berpikir yang berbeda dari sosial modern. (Ibid., h. 629)
[8] Donny Gahral Adian, op. cit., h. 66-67.
20:40 Wahyu Budi Nugroho
20:40 Wahyu Budi Nugroho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar