Tuesday, 27 December 2011 | |
JAKARTA – Tindakan kekerasan yang dilakukan polisi seperti dalam insiden di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) menunjukkan reformasi di lembaga penegak keamanan tersebut belum jalan. Kondisi tersebut terjadi karena kontrol yang minim atas kewenangan polisi yang begitu besar. Sejumlah kalangan pun mengusulkan perlu restrukturisasi institusi kepolisian. Komisi III DPR dari FPDIP Eva Kusuma Sundari misalnya menyebut,kontrol yang minim berimplikasi pada kewenangan Polri yang sering dipergunakan secara tidak sah dan tidak proporsional, termasuk menggunakan kekerasan. Dia menilai alasan polisi bahwa tindakannya sudah sesuai prosedur tetap (protap) patut dicurigai. ”Bukan saja protap Polri bersifat ambigu yang dalam praktiknya sering mirip operasi militer.Protap juga rawan diperalat pemodal dan oknum pejabat polisi untuk memperkaya diri. PDIP menyarankan DPR untuk meminta audit kinerja BPK yang diorientasikan pada perbaikan profesionalisme dan akuntabilitas Polri,” ucapnya. Menurut Eva,berkaitan dengan kontrol yang minim terhadap Polri, perlu dipikirkan untuk menempatkan Polri di bawah Jaksa Agung sebagai bagian dari penegak hukum. Restrukturisasi internal Polri juga diperlukan agar organisasi diarahkan pada penguatan polsek-polsek, bukan penguatan Mabes Polri sebagaimana yang sudah terjadi selama ini. Usulan senada disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin. Menurut dia, dari beberapa kejadian kerusuhan berdarah akhirakhir ini, Presiden seharusnya segera merestrukturisasi keberadaan Polri. Dia pun menilai Polri saat ini menjadi lembaga yang super. Polri membuat program, membuat rencana anggaran, meminta anggaran, menggunakan anggaran, bahkan Polri juga yang mengevaluasi kinerjanya. ”Seharusnya ada sebuah kementerian yang membawahinya. Seperti juga Kementerian Pertahanan (Kemenhan) untuk TNI,”katanya. Menurut dia, sejak Polri terpisah dari TNI seharusnya Polri menata diri menjadi polisi sipil yang santun dalam menyelesaikan masalah-masalah di lingkungan masyarakat. Namun, kenyataannya justru kebalikannya. Reformasi Polri justru meniru gaya dan caracara militer. Polri mengubah paradigma dari mengayomi menjadi melibas, dari hanya melumpuhkan menjadi mematikan. Dia lantas menunjuk senjata perorangan yang dipakai Brimob, bukan lagi senjata untuk melumpuhkan, melainkan senjata-senjata sekelas pasukan komando. Pengamat militer LIPI Jaleswari Pramodhawardani menilai, munculnya banyak kekerasan yang melibatkan polisi terjadi setelah Polri dan TNI berpisah. Mulai saat itu kewenangan polisi memang lebih banyak bersentuhan dengan masyarakat langsung untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. namun, kekerasan yang terjadi justru ditimbulkan oleh aparat yang harusnya menjaga keamanan. Jaleswari menuturkan, kekuasaan negara dengan otoritas keamanan yang dimiliki seharusnya menciptakan ke- amanan bagi masyarakat. Namun, pada kasus Bima dan Mesuji adalah sebaliknya, masyarakat dihadapkan dengan polisi. ”Kasus ini tidak bisa diabaikan. Komandan harus bertanggung jawab, kemudian juga Kapolri. Presiden juga harus tegas terhadap Kapolri,” ucapnya. Sementara itu, Komnas HAM hari ini akan menerjunkan tim khusus ke Bima guna melakukan investigasi kasus kekerasan yang terjadi beberapa hari lalu di sana. Komnas HAM menduga telah terjadi pelanggaran HAM dalam kasus yang berlatar belakang sengketa agraria itu. Namun, belum bisa dipastikan apakah termasuk pelanggaran HAM berat atau ringan. ”Hasil dari investigasi nanti digunakan untuk menyatakan apakah ini merupakan pelanggaran HAM berat atau bukan,” ungkap Ketua Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) Ifdhal Kasim di Jakarta kemarin. Ifdhal menuturkan,Komnas HAM telah membentuk tim untuk mencari fakta-fakta pelanggaran HAM dalam kasus yang terjadi di Bima. Tim tersebut diketuai komisioner Komnas HAM Ridha Saleh.Selama di Bima,tim juga akan meminta keterangan pihak-pihak terkait seperti polisi,masyarakat,dan saksi untuk memastikan bagaimana kronologi insiden penembakan tersebut. Komnas HAM sendiri menangkap kesan kuat telah terjadi pelanggaran prosedur tetap oleh polisi, walaupun menurutpolisitindakanmereka sudah terukur.Pelanggaran itu di antaranya berdasarkan dari rekaman video kekerasan yang selama ini beredar.Dalam video itu tampak tembakan aparat kepolisian diarahkan lurus dan horizontal ke pengunjuk rasa. ”Lebih pastinya kita tunggu hasil investigasi,”ungkap dia. Ketua Komisi III DPR Benny K Harman memastikan pihaknya akan memanggil Kapolri Jenderal Timur Pradopo seusai reses. ”Komisi III DPR akan panggil Kapolri Timur Pradopo begitu memasuki masa sidang nanti. Kita akan minta penjelasan Kapolri soal bentrokan tersebut.Tak hanya Bima,Komisi III DPR juga akan menanyakan kasus-kasus serupa yang terjadi di Kalimantan dan Papua,” kata Benny, kepada wartawan,kemarin. Benny melihat kasus yang terjadi di Bima hanyalah sebagian kecil dan masih ada kasuskasus lain yang lebih besar dan perlu penanganan serius. Menurut dia, berbagai kasus kekerasan merupakan cermin penanganan aparat yang represif. ”Bila hasil investigasi di lapangan membuktikan ada pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri, harus diberikan sanksi yang tegas,”kata Benny. Sementara itu, Kapolda Nusa Tenggara Barat Brigjen Pol Arief Wachyunadi kembali menegaskan, tindakanpolisidalam membubarkan paksa ratusan demonstran yang memblokade Pelabuhan Sape di Kabupaten Bima telah sesuai prosedur tetap (protap) yang digariskan. Beberapa kali polisi meminta agar warga yang sejak 19 Desember lalu menduduki pelabuhan segera dapat membubarkan diri. Namun, pendekatan dialogis dan humanis itu selalu mengalami kebuntuan, dan bahkan dilawan dengan lemparan batu. ”Jadi karena mereka tetap membandel, ya terpaksa harus kami bubarkan secara paksa demi kepentingan masyarakat luas,”katanya. Dalam pembubaran paksa tersebut tercatat dua demonstran meninggal dunia di tempat kejadian setelah ditembus peluru petugas serta 12 lainnya mengalami luka-luka cukup serius. Ribuan masyarakat melakukan aksi blokade pelabuhan setelah aspirasi yang ditujukan untuk menolak penambangan emas yang dilakukan PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) di wilayahnya tidak ditanggapi pemerintah setempat. fefy dwi haryanto/andi setiawan/rahmat sahid/m sahlan/robbi khadafi/ant |
Selasa, 27 Desember 2011
Kontrol Kepolisian Minim
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar