STRATIFIKASI SOSIAL: SEBUAH CATATAN AWAL Posted by nyanyo on March 30, 2009 · 18 Comments Oleh I Wayan Suyadnya Masyarakat merupakan sekumpulan individu yang membentuk sistem sosial tertentu dan secara bersama-sama memiliki tujuan bersama yang hendak dicapai, dan hidup dalam satu wilayah tertentu (dengan batas daerah tertentu) serta memiliki pemerintahan untuk mengatur tujuan-tujuan kelompoknya atau individu dalam organisasinya. Dalam masyarakat itu kemudian semakin lama terbentuk suatu struktur yang jelas yaitu terbentuknya kebiasaan-kebiasaan, cara (usage), nilai/norma dan adat istiadat. Struktur sosial yang terbentuk ini kemudian lama kelamaan menyebabkan adanya spesialisasi dalam masyarakat yang mengarah terciptanya status sosial yang berbeda antar individu. Perbedaan status sosial di masyarakat tentunya akan diikuti pula oleh perbedaan peran yang dimiliki sesuai dengan status sosial yang melekat pada diri seseorang. Pembedaan-pembedaan inilah yang menimbulkan setiap individu dalam suatu masyarakat menimbulkan adanya pelapisan sosial atau yang lebih dikenal dengan stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial pada kenyataannya adalah seperangkat kerangka konseptual bagaimana memahami dan mendefinisikannya sebagai satu aspek dari organisasi sosial. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kelley, “since every individual occupies numerous social position and plays many roles, it is possible to classify persons into status-role categories, which are ranked in terms of the relative position of their roles taken as a whole”. Esensi dari stratifikasi sosial adalah setiap individu memiliki beberapa posisi sosial dan masing-masing orang memerankan beberapa peran, sehingga hal ini memungkinkan untuk mengklasifikasikan individu-individu tersebut ke dalam kategori status-peran, dimana perangkingan didasarkan atas posisi relatif dari peran-peran yang mereka mainkan secara keseluruhan. Stratifikasi sosial didefinisikan secara eksplisit atau implisit sebagai sistem fungsional yang diakui dalam diferensiasi dan posisi rangking dalam kelompok, asosiasi, komunitas dan masyarakat. Dari definisi tersebut dapat dilihat terdapat tiga (3) elemen stratifikasi yaitu: (i) sistem perangkingan posisi sosial individu, (ii) struktur sosial yang dapat diaplikasikan pada segmen yang luas, dan (iii) berlangsung dalam periode waktu yang lama. Berdasarkan definisi dari stratifikasi sosial di atas, dapat dilihat dengan jelas bentuk dari diferensiasi sosial, tetapi terdapat sebuah perbedaan dari diferensiasi sosial. Bentuk-bentuk lain dari diferensiasi sosial adalah peran kekerabatan/keluarga (kinship roles), peran berdasarkan jenis kelamin (sex roles), atau peran berdasarkan usia (age roles), dimana penentuannya didasarkan atas kualitas masing-masing individu. Oleh karena itu, stratifikasi sosial merupakan konsep yang universal. Stratifikasi sosial bersifat sangat luas karena stratifikasi sosial itu menunjukkan atau memiliki fungsi sosial, diantaranya: (i) untuk memberikan kemudahan dalam pembagian kerja yang jelas, untuk memudahkan masing-masing individu menjalankan tugas-tugasnya (sebagai fungsi sosial dibutuhkan untuk mengetahui kedudukan seseorang dalam struktur yang tinggi); (ii) untuk memudahkan dalam pemberian penghargaan (reward) baik dalam bentuk uang, prestise maupun kekuasaan; (iii) sebagai fungsi sosial untuk memperoleh kedudukannya tidak berdasarkan atas dasar reward. Stratifikasi sosial menunjukkan adanya suatu ketidakseimbangan yang sistematis dari kesejahteraan, kekuasaan dan prestise (gengsi) yang merupakan akibat dari adanya posisi sosial (rangking sosial) seseorang di masyarakat. Sedangkan ketidakseimbangan dapat didefinisikan sebagai perbedaan derajat dalam kesejahteraan, kekuasaan dan hal-hal lain yang terdapat dalam masyarakat. Dalam stratifikasi sosial, ketidakseimbangan dikatakan sistematis untuk menggarisbawahi bahwa ketidakseimbangan dibangun di dalam struktur sosial dan bukan merupakan akibat perbedaan individu atau kesempatan yang didapatkan oleh masing-masing individu. Pada kenyataannya, salah satu pengertian dari sosiologi, bahwa stratifikasi menjadi bagian besar dari masyawakat dan bukan sekedar keberuntungan atau usaha personal. Semua masyarakat di dunia modern dipandang sebagai masyarakat yang berlapis berdasarkan kesejahteraan, kekuasaan dan prestise, dan juga berdasarkan atas hal lain seperti gender, ras dan etnis.
Setiap masyarakat dimana pun adanya berada dalam suatu lingkup geografi dan budaya tertentu pada dasarnya memiliki struktur sosial yang berbeda satu sama lainnya. Dalam masyarakat pasti memiliki stratifikasi atau pelapisan sosial, tidak peduli masyarakat tersebut dikelompokkan ke dalam masyarakat tradisonal ataupun modern. Hanya saja untuk melihat fenomena ini memerlukan kejeliaan. Pada dasarnya pelapisan sosial sebagai suatu ciri dari masyarakat (kehidupan manusia) baik masyarakat tradisional atau modern. Keadaan ini membutuhkan adanya identitas setiap lapisan masyarakat yang dapat dijadikan simbol bagi status sosial seseorang yang dapat memberikan sejumlah hak dan kewajiban dalam kehidupan. Pelapisan sosial yang ada dalam masyarakat di samping memberikan status sosial seseorang, entah status sosial tersebut naik (mobilitas sosial vertikal naik) ataupun turun (mobilitas sosial vertikal turun) atau hanya mengalami pergeseran status (mobilitas sosial horizontal), semuanya tersebut juga memiliki peran yang tidak dapat dipisahkan dari status sosial yang melekat pada status yang baru tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Weber, bahwa status sosial seseorang terkait dengan kehormatan yang melekat dalam status tersebut. Kehormatan mungkin dapat dihubungkan ke dalam masyarakat yang serba pluralitas yang akan mengacu terhadap adanya pembedaan status sosial seseorang dalam masyarakat. Kalau zaman dahulu (mungkin dibeberapa tempat masih terdapat) bahwa status sosial seseorang erat kaitannya dengan “kelahirannya” (ascribed status), nampaknya hal tersebut seiring dengan perkembangan dan kemajuan pola berpikir dan penegakan hak-hak asasi manusia status sosial berdasarkan atas “kelahiran” mulai banyak ditinggalkan. Orang-orang sekarang sudah mulai bergeser pola pemikirannya, mereka sadar bahwa status sosial seseorang tidak saja hanya dapat diperoleh dari kelahiran seperti keluarga bangsawan tetapi juga akan potensi pengembangan diri misalnya dari pendidikan, pekerjaan, jabatan akademis, pekerjaan yang diperolehnya, atau karena kekayaan yang dimilikinya. Kalau kita lihat bahwa status sosial tersebut diperoleh dengan tiga jalan, dua telah dikemukakan di atas. Pertama, status sosial yang diperoleh karena adanya kelahiran (ascribed status). Sifat dasar status yang dieroleh berdasarkan atas kelahiran adalah konsep “dibebankan” yang melekat pada status tersebut. Misalnya dapat ditemui pada keluarga bangsawan Kerajaan Inggris, Brunei ataupun Kesultanan Yogyakarta dan Solo. Sampai saat ini pun, gelar-gelar ini banyak kita temui dalam kehidupan modern seperti gelar KPGH, KPH dan Raden Mas (yang masih banyak sekali kita temui dalam kebudayaan Jawa). Kedua, yaitu status sosial yang diperoleh dengan jalan karena prestasi yang diperoleh seseorang karena prestasinya dinilai bermanfaat bagi masyarakat, yang diberikan oleh lembaga yang berhak untuk memberikan gelar atau penghargaan tersebut. Misalnya Gelar “Lord” atau “Sir” yang diberikan oleh Kerajaan Inggris, Gelar “Datuk” atau “Tan Sri” yang diberikan oleh Kerjaan Malaysia, Kanjeng Raden Temenggung (KRT) oleh Kesultanan Yogayakarta ataupun Gelar Doktor Honoris Causa (Dr(Hc)) dari sebuah universitas yang sebenarnya hanya boleh dipergunakan ketika yang bersangkutan ada dalam kegiatan resmi universitas yang memberikan gelar tersebut. Terakhir, ketiga, gelar atau penghargaan yang diperoleh karena adanya prestasi (achievement) yang diperoleh seseorang dalam bidang ilmu pengetahuan. Contohnya gelar Ir, Drs, S.Sos,M.Si, MSc, MA, DR ataupun Ph.D. Bentuk Stratifikasi: Kasta, Estate dan Kelas Sosial
Anggapan masyarakat modern secara refleks, bahwa tahap-tahap dalam pembangunan, pekerjaan dalam organisasi dan pekerjaan berhubungan dengan struktur sosial masyarakat setempat yang mana memberikan kerangka substansial yang terdiri dari individu-individu, kelompok dan institusi dimana mereka hidup. Permasalahan utama dalam masyarakat yang sering kali dilihat dan banyak mendapat perhatian adalah kelas sosial (social class), ketidakseimbangan (Inequality) dan perubahan sosial (social change). Konsep kelas muncul untuk mengidentifikasi individu-individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat yang membedakannya dalam mendapatkan fasilitas kesehatan, ekonomi, kesejahteraan. Menurut Sanderson, sistem stratifikasi sosial berkenaan dengan adanya dua atau lebih kelompok dalam suatu masyarakat tertentu, yang anggota-anggotanya memiliki kekuasaan, hak-hak istimewa, dan pretise yang tidak sama pula. Sistem stratifikasi sosial ada tiga yakni caste, estate dan class system. Sistem Kasta Sistem kasta memilki karakteristik sistem kelas yang horizontal (strata) yang merefresentasikan area-area fungsional yang terdapat dalam masyarakat. Area-area tersebut meliputi religi (agama), pendidikan, pemerintahan dan bisnis. Masing-masing area kemudian disusun berdasarkan atas tingkat kepentingan fungsional dalam masyarakatnya. Penentuan urutan tersebut terkadang merupakan hasil dari perjuangan kelompok tertentu yang ada dalam masyarakat dan terkadang merupakan hasil penaklukan dari kelompok yang berada di luar masyarakat. Dalam kedua kasus tersebut, sistem distabilkan melalui nilai-nilai dalam masyarakat. Konsep kasta merupakan gejala khas masyarakat feodal, sedangkan kelas tersebut adalah gejala masyarakat pasca-feodal (postkolonial). Sebagai daerah bekas pendudukan Hindu yang bersifat feodalisme, Indonesia masih memiliki ciri dan karakteristik masyarakat yang berbentuk kasta. Istilah Kasta umumnya berkenaan dengan bentuk kaku dari stratifikasi sosial masyarakat yang ditandai dengan adanya strata edomogamus (dalam perkawinan), yang mempraktekkan penolakan terhadap sesama dan tidak memungkinkan terjadinya mobilitas. Menurut McCord, sistem kasta atau sistem yang mirip dengannya mulai ada pada masyarakat Hindu di India sekitar 2000 tahun yang lalu. Dalam ideolgi Hindu India ini setiap hubungan dengan kasta lain (apalagi yang dibawahnya) adalah sesuatu yang terlarang. Sistem kasta yang masih kental di dunia dapat kita lihat masih ada dalam sistem kemasyarakatan, khususnya di India. Sistem kasta Hindu merupakan bentuk rumit dan kaku dari stratifikasi sosial di dunia ini. Sistem ini kemungkinan juga merupakan fenomena sosial yang paling sedikit dimengerti dalam ilmu sosial. Kasta disini seringkali mirip dengan “klan” jenis kolektif yan lebih lama yang mengasumsikan sebuah fungsi dari asosiasi. Di India, sebenarnya ada lima kasta (satu kelompok sering kali disebut sebagai kelompok yang tidak memiliki kasta) yang berkembang, namun seiring dengan adanya doktrin tradisional yang sering disebut dengan kasta hanya empat yakni Kasta Brahmana (Pendeta), Ksatrya (keluarga raja dan pemimpin kerajaan), Waisya terdiri dari golongan pedagang dan Kasta Sudra yakni para petani, sedangkan Kasta yang tidak memiliki “Kasta” dinamakan dengan sebutan Hariyan. Kasta Sudra memiliki tempat rendah dan dianggap sebagai kasta yang kotor oleh golongan kasta yang ada diatasnya. Dalam Weda, konsep sebenarnya tidak ada, ini hanya merupakan sebuah akal-akalan atau siasat dari kaum Brahmana (kaum terpelajar dan hanya yang diijinkan waktu itu untuk membaca kitab suci atau mendapatkan pendidikan) untuk mempresentasikan dirinya sebagai kasta tertinggi, sedangkan sisanya memiliki kasta yang lebih atau agak dekat dengannya. Kemunculan kelas kasta ini sebagai bentuk kolaborasi antar pendeta (rohaniawan) yang dalam hal ini sebagai kelas yang dominan dengan tuan tanah (mencengkramkan feodalisme) untuk mengembangkan kultur hemogeni sistem kasta yang diselenggarakan dari ajaran Weda, Kitab Suci Agama Hindu. Hegemoni budaya (ideologi yang dominan) ini meenggaris bawahi bahwa tipa-tipa orang dalam masyarakat dilahirkan pada kedudukan (status), struktur sosial dan kasta tertentu sehingga sangat tabu bagi masyarakat untuk melakukan perkawinan antar kasta karena hal tersebut dianggap sebagai hal yang melanggar aturan, norma dan dinilai sebagai perkawinan kotor atau najis. Sehingga ada kecenderungan terjadi eksploitasi oleh kelas dominan (pendeta) terhadap kelas yang lebih rendah, begitu seterusnya. Gould menyatakan masyarakat yang umum mengembangkan sistem stratifikasi sosial yang menyerupai kasta adalah masyarakat yang agraris. Masyarakat kasta memiliki ciri-ciri penting sebagai berikut: (i) tingkat perubahan teknologi relatif lambat; (ii) strata sosial, yang umumnya adalah Ksatrya (prajurit) atau Brahmana (pendeta), memiliki pengaruh atau kekuasaan yang besar; (iii) heterogenitas kultural, sosial atau rasial. Sistem kasta ini tidak hanya pada bidang-bidang sosial saja, melainkan juga pada bidang-bidang lain terutama ekonomi. Seperti penelitiannya Joan Mecher , penguasaan kasta ternyata pada tingkatan ekonomi, dimana kelas kasta memberi legitimasi kaum penguasa tanah (yang didukung oleh rohaniawan Hindu-merupakan kasta tertinggi di India) merugikan kelas petani yang berkasta lebih rendah. Kasta Heriyan menderita dua kerugian utama yakni, eksploitasi ekonomi dan identitas yang terhina. Hukum-hukum yang melarang praktek eksploitasi ekonomi dan penghinaan identitas tidak memiliki sebuah kekuatan untuk menghalangi praktek-praktek ini. Para Brahmana dari kasta atas memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi kepada kasta yang ada dibawahnya, jika kasta yang dibawahnya mereka anggap melanggar aturan-aturan tradisional masyarakat India. Dari hal tersebut Mecher mengambil suatu kesimpulan bahwa dalam masyarakat berkasta, para aristokrat tuan tanah berkolborasi dengan kaum rohaniawan (kasta dominan) untuk mengembangkan kultur hegemoni sistem kasta yang diselenggarakan dari ajaran Weda (Kitab Suci Agama Hindu). Dimana hegemoni budaya (ideologi dominan) “kasta” itu menganggap bahwa tiap-tiap individu dalam masyarakat dan hubungan-hubungan antara kasta yang berbeda (barangkali kasta dibawahnya) dianggap sebagai sebuah hubungan yang bersifat kotor, najis, pantangan dan melanggar etika. Dalam hal ini perkawinan camouran antar kasta merupakan sesuatu yang harus dihindari, sehingga dengan perkataan lain hubungan sosial dalam kasta diatur sedemikian rupa. Cara berbahasa, gerak tubuh dan bersikap diatur sedemikian rupa. Bahkan di kadangkala pakaian dan tata cara menggenakan busana pun diatur sedemikian rupa, pakaian yang dikenakan menunjukkan kelas staus seseorang dari kasta mana ia berasal. Sehingga keadaan ini memberikan sebuah kesempatan kepada kasta lebih atas untuk mendominasi kehidupana kasta dibawahnya dengan jalan eksploitasi ekonomi dan penghinaan identitas diri. Telah dikemukakan di atas bahwa sistem stratifikasi sosial dalam hal ini kasta, sebagai suatu wujud sistem masyarakat dengan pelapisan sosial tertutup, tidak ada yang mutlak tertutup dari suatu gerak sosial (mobilitas). Salah satu bentuknya adalah perkawinan. Telah jauh sebelumnya pada masyarakat di India, dikatakan sebagai suatu hal yang najis untuk berhubungan dengan individu yang berbeda kasta, perkawinan antar kasta menjadi dilarang. Begitu juga hal pada masyarakat Bali. Bagi masyarakat Bali perkawinan adalah suatu rangkaian kehidupan yang amat penting bagi mereka. Tahapan-tahapan kehidupan masyarakat Bali telah diatur dalam suatu konsep “jalan kehidupan”, mulai datri masa menuntut ilmu (Brahmacari), masa membina rumah tangga dan masa mengasingkan diri kepada Tuhan. Konsep ini sudah tertanam pada masyarakat Bali. Sebenarnya ada tiga upacara besar dalam masyarakat Bali yakni Perkawinan, Kematian (ngaben) dan upacara-upacara agama. Ngurah Bagus menyatakan bahwa berdasarkan adat lama yang masih kental dengan sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa), sedapat mungkin perkawinan yang dilakukan oleh seorang pemuda dan pemudi yang masih memiliki kesamaan klen dan tidak diperbolehkan dengan orang-orang yang dianggap memiliki derajt lebih tinggi dalam kastanya. Perkawinan adat Bali bersifat endogami klen, sedangkan perkawinan yang masih dicita-citakan oleh masyarakat Bali yang masih bersifat kolot adalah perkawinan antar anak-anak dari dua orang saudara laki-laki. Orang-orang yang masih se-klen (masih dalam satu sanggah, tunggal dadia, tunggal kawitan), merupakan orang-orang yang setingkat kedudukannya dalam adat dan agama. Demikian juga halnya dalam kasta pada masyarakat Bali, perkawinan antar kasta sangatlah dijaga agar jangan sampai terjadi. Batasan perkawinan hanya dalam satu klen atau kasta yang segolongan sangatlah kuat dijaga oleh generasi tua dalam masyarakat Bali. Hal ini didasari atas pemikiran mereka bahwa perkawinan antar kasta atau klen akan mengakibatkan terjadinya ketegangan-ketegangan atau noda-noda dalam keluarga. Dala hal ini teruatam harus dijaga perkawinan dari anak wanita yang memiliki status kasta lebi tingi dengan pemuda yang memiliki kasta lebih rendah. Perkawinan seperti ini membawa malu dan turunnya gengsi kasta dalam masyarakat, maka wanita ini akan dinyatak keluar dari dadia-nya dan secara fisik suami istri akan dibuang (maselong) untuk berapa lama, ke tempat jauh dari asalnya dan tidak diperbolehkn berhubungan dengan masyarakat. Sistem Estate
Bentuk kedua dari stratifikasi sosial adalah sistem estate yang pada dasarnya juga berdasarkan pada sistem kelas tertutup, tetapi lebih longgar bila dibandingkan dengan sistem kasta. Sistem estate mencapai masa kejayaannya pada masa feodalisme di eropa dan masih digunakan oleh beberapa negara yang tetap mempertahnkan sistem aristokrasi atau kepemilikan tanah secara turun temurun (feodalis Eropa). Istilah ”estate” berasal dari terminologi feodal Eropa. Seperti sistem kasta, sistem estate didasarkan pada urutan posisi berdasarkan atas stratifikasi fungsional. Bedanya adalah area-area fungsional tersebut dianggap sebagai pelengkap dan sama pentingnya. Dengan kata lain, area militer, religius (agama), pemerintah dan ekonomi dianggap sama pentingnya dalam masyarakat. Oleh karenanya area-area fungsional tersebut dianggap sebagai urutan vertikal dari kekuasaan bukan sebagai sebagai urutan horizontal. Sistem Kelas
Aristotle menggambarkan bahwa didunia ini ada tiga kelas utama yang menyusun kehidupan dan akan selalu tergambar dalam setiap masyarakatnya, pengkategorian kelas menurut Aristoteles ini berdasarkan atas status sosial yang mereka peroleh dari ukuran ekonomi yaitu seberapa besar kekayaan yang dipunyainya. Ketiga kelas tersebut adalah kelas atas (kelas kaya), kelas bawah (kelas miskin) dan kelas yang ketiga, yang berada diantara kelas kaya dan kelas miskin tersebut yakni kelas menengah. Kelas menengah merupakan kelas yang selama ini membuat kestabilan dalam masyarakat. Kelas menengah ini memiliki posisi penting dalam rangka menjaga kestabilan masyarakat. Sebagaimana yang dikemukana oleh Dahrendorf, istilah kelas pertama kali muncul dan diperkenalkan oleh bangsa Romawi dan sepanjang sejarahnya kelas tersebut selalu mengalami pergeseran arti . Awal mulanya digunakan untuk istilah dalam pembayaran pajak, yang terbagi ke dalam dua kelas, yakni kelas assidui atau golongan kaya dan plotariat atau golongan miskin. Pergeseran selanjutnya adalah istilah yang dipergunakan oleh Marx, khususnya dalam bidang ekonomi yakni untuk menentukan kesenjangan sosial. Menurut Elster, teori Marx tentang kelas mulai dengan seperangkat kepentingan tertentu yang didefinisikan secara obyektif yang muncul dari hubungan-hubungan penindasan serta dominasi oleh kelompok elite terhadap aset produksi. Obyektifitas manusia mencul akibat adanya pemikiran bahwa orang senantiasa memiliki kepentingan agar tidak menjadi kelompok atau individu yang didominasi oleh kelompok atau individu lain. Peningkatan kepentingan tersebut hanya dapat diraih secara kolektif, atau dalam artian membentuk suatu kelompok yang memiliki karakteristik yang sama atau kepentingan yang sama. Teori ini juga mengkaji tentang kenapa kepentingan obyektif muncul sebagai kepentingan subyektif yang tidak dirasakan oleh sebagian kelompok orang. Teori ini juga mengkaji tentang perjuangan kelas dari masyarakat. Pengajuan perbedaan kelas dan status selanjutnya banyak dibahas juga oleh Weber dengan secara lebih ekplisit menyebut kelas, status dan partai. Ketiga kelas ini menunjukkan tatanan sosial dalam masyarakat. Kelas merupakan stratifikasi sosial berkenaan dengan hubungan produksi dan penguasaan harta benda. Kelompok status lebih ditekankan pada nilai yang dianut dalam kelompok sosial sebagai suatu perwujudan stratifikasi berkaiatan dengan pengkonsumsian atau penggunaan harta benda sebagaimana yang dicerminkan sebagai gaya hidup. Sedangkan partai merupakan perkumpulan sosial yang berorientasi terhadap penggunaan kekuasaan sosial dalam masyarakat guna mencapai kepentingan-kepentingannya (individu atau kelompok) dalam masyarakat. Marx tidak pernah secara khusus dan mendetail membahas dan meyebutkan apa yang dia maksud sebenarnya dengan kelas. Namun yang terjadi adalah merekonstruksi berbagai definisi dari tulisan-tulisan yang pernah ditulisnya dengan cara merujuk kembali tentang apa yang dimaksudnya sebagai kelompok-kelompok yang seringkali dirujuk sebagai kelas. Pandangan Marx secara khusus yakni kelas-kelas merupakan unit-unit fundamental (dasar) dalam konflik sosial yang berimplikasi terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat. Kelas-kelas tidak dapat dibedakan secara khusus dan mendetail, namun demikian kelas memiliki keberadaan riil dalam masyarakat. Jadi konsep kelas menurut Marx, mengandaikan bahwa terjadi interaksi-interaksi antara anggota-anggota kelas-kelas yang berbeda dengan cara mentransfer perintah atau surplus. Marx beranggapan bahwa pelaku utama dalam kemasyarakatan adalah adanya kelas-kelas ini. Sehingga sangat perlu kita memperhatikan keberadaan kelas ini dalam masyarakat. Menurut Marx, kelas sosial merupakan gejala khas masyarakat pascafeodal, sedangkan golongan dalam sosial dalam masyarakat feodal dan kuno disebut dengan “kasta”. Ketertutupan Kelas Sosial dan Mobilitas Sosial
Hubungan antara kelas dan kasta pada masyarakat yang bersifat feodalistik lebih jelas lagi diungkapkan oleh Parkin mengenai ketertutupan sosial. Ketertutupan sosial merupakan kemampuan suatu kelompok untuk menutup diri dari masuknya anggota kelompok lain untuk menjadi bagian atau anggota kelompoknya. Ketertutupan kelas sosial merupakan sebuah cara utama yang penting dalam membentuk sebuah kelas baru. Pembentukan kelas sosial yang dominan terhadap masyarakat dapat dicapai melalui kontrol monopolistik terhadap sumberdaya, termasuk yang diutamakan Marx seperti tanah dan kapital, di samping kekerasan melalui senjata. Weeden, seperti yang dikutip dari pendapatnya Weber, menyatakan bahwa ketertutupan sosial menunjukkan sebuah kompetisi untuk mempertahankan kelompoknya dari penurunan ketertarikan terhadap kelompok. Suatu kelompok akan mencoba untuk memonopoli keuntungan dan memaksimlakan ganjaran mereka dengan menutup kesempatan dari luar yang mereka definisikan sebagai kelas bawah (inferior) atau tidak memiliki kriteria seperti yang mereka syaratkan. Ketertutupan sosial ini dapat berdasarkan bermacam-macam hal, diantaranya karakteristik yang nampak ataua kelihatan, penggolangan berdasarkan ras, latar belakang sosial, bahasa, agama dan gender. Teori ketertutupan sosial juga menggolongkan berdasarkan kriteria-kriteria individu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam masyarakat seperti kepercayaan terhadap tingkat pendidikan, pengetahuan, atau jumlah kekayaan. Ketertutupan dalam kasta merupakan hal yang spesifik dari teori ketertutupan sosial. Ketertutupan kelas sosial (kasta) merupakan sebuah warisan feodalistik. Pada kebanyakan masyarakat tani (masyarakat agraris) yang merupakan refresentasi dari keberadaan sistem stratifikasi sosial yang mirip kasta masih kuat terjadi, petani hanyalah sebagai penyewa lahan pertanian dari kelompok masyarakat yang memiliki modal (penguasa tanah). Dengan keadaan dan dibawah bayang-bayang dari foedalistik peninggalan Hindu, maka menjadi suatu hal yang sulit untuk melakukan mobilitas antar kasta. Mobilitas antar kasta sendiri merupakan suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Sruktur sosial mencakup sifat-sifat hubungan antara individu dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompoknya. Pada masyarakat berkasta, umumnya mobilitas sosial yang terjadi adalah mobilitas yang bersifat horizontal (perkawinan satu kasta) dan sangat jarang ditemui adanya mobilitas sosial yang bersifat vertikal antar kasta (perkawinan antar kasta). Mobilitas sosial vertikal dimaksudkan sebagai perpindahan inidvidu atau objek sosial dari satu status ke status yang lainnya yang tidak sederajat. Gerak sosial sesuai dengan arahnya digolongkan menjadi dua, yaitu mobilitas sosial naik (social climbing) dan mobilitas sosial turun (social sinking). Mobilitas sosial naik (social-climbing) ini memiliki dua bentuk utama, yakni masuknya individu yang mempunyai kedudukan rendah ke dalam kedudukan yang lebih tinggi, pada kedudukan yang telah ada dan pembentukan suatu kelompok baru, yang kemudian ditempatkan pada derajat lebih tinggi dari kedudukan individu pembentuk kelompok tersebut. Sedangkan mobilitas sosial turun (social-sinking) mempunyai dua bentuk utama, yaitu turunnya kedudukan individu ke kedudukan yang lebih rendah derajatnya dan turunnya derajat sekelompok individu yang dapat berupa disintegrasi kelompok sebagai kesatuan. Namun demikian, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam melihat dan mengkaji mobilitas sosial vertikal ini, diantaranya: (i) hampir tidak ada sebuah masyarakat yang memiliki sistem sosial yang sangat tertutup, dimana sama sekali mobilitas vertikal terjadi; (ii) betapa terbukanya sistem pelpisan sosial suatu masyarakat tidak akan mungkin suatu mobilitas sosial vertikal dapat dilakukan dengan sebebas-bebasnya, pasti memiliki banyak sekali hambatan-hambatan; (iii) mobilitas sosial vertikal yang umum berlaku bagi semua masyarakat tidak ada, setiap masyarakat masyarakat memiliki ciri dan karakteristik sendiri bagi mobilitas sosialnya; (iv) laju mobilitas sosial vertikal yang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik serta pekerjaan adalah berbeda; dan (v) berdasarkan bahan-bahan sejarah, khususnya dalam mobilitas sosial vertikal yang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan pekerjaan, tidak ada kecenderungan yang kontinyu perihal bertambah atau berkurangnya laju mobilitas sosial. Hal ini berlaku bagi negara, lembaga sosial yang besar dam juga bagi sejarah manusia. Sebuah Catatan untuk Studi Lanjut
Terdapat pergeseran bidang kajian dalam studi stratifikasi sosial yaitu dari perspektif klasik yang hanya mengkaji bentuk-bentuk stratifikasi sosial (area-area fungsional) ke arah perspektif kontemporer dimana yang dikaji adalah masalah kelas, status dan kekuasaan. Kelas, pada perspektif klasik, yang dikaji adalah terbentuknya kelas penguasa dan kelas yang dikuasai yaitu penguasaan faktor-faktor ekonomi (penguasaan alat-alat produksi dan modal). Sedangkan pada perspektif modern, orientasi studi tentang kelas, lebih pada kajian bagaimana pendapatan, pekerjaan dan kesejahteraan mempengaruhi terbentuknya kelas-kelas baru. Sedangkan pada status, bagaimana individu tersebut memaknai status dan peran yang dimiliki dalam kelompok serta bagaimana kekuasaan-kekuasaan yang melekat dalam status sosial tersebut memiliki hubungan dengan sistem stratifikasi yang lain. ===============
Notes:
John D. Kelley. 1961. The Sociology of Stratification: A Theory of the Ppower Structure of Society. PhD Dissertation (Louisiana State University), pp. 375-376. Sedangkan Polak, mendefinisikan sebagai sejumlah orang yang statusnya sama menurut penilaian sosial dinamakan suatu ”lapisan”, ”golongan” atau ”stratum” dan bahwasannya masyarakat tergolong berdasarkan atas strata (jamaknya stratum), istilah ini merujuk pada definisi stratifikasi. Periksa kembali Maijor Polak. 1991. Sosiologi: suatu buku pengantar ringkas. Jakarta: PT. Icthiar Baru.
Kingsley Davis and Wilbert A. Moore. 1945. Some Principles of Stratification. The American Sociological Review, V, 10, No. 2, pp. 242-249.
Weber, Max. 1947. the Theory of Social and Economic Organization. New York: Free Press.
Pada prinsipnya secara pribadi, penulis tidak menyetujui adanya penggolongan masyarakat berdasarkan modernitas yaitu masyarakat tradisional atau modern. Berdasarkan atas pengamatan penulis, budaya satu dengan budaya lainnya cenderung memiliki makna masing-masing yang kadangkala hanya bisa dipahamioleh masyarakat yang bersangkutan. Pada hakekatnya setiap kebudayaan memiliki prasyarat fungsional bagi masyarakatnya. Dengan kata lain kita tidak dapat menilai kebudayaan orang lain berdasarkan atas nilai budaya yang kita anut dalam kebudayaan kita.
Sanderson, Stephen K. 2003. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Status adalah kedudukan sosial seseorang dalam kelompok serta masyarakatnya. Status mempunyai dua aspek, yaitu aspek yang agak stabil dan dinamis. Aspek pertama bersifat hierarkis (mengandung perbandingan tinggi atau rendah secara relatif terhadap status-status lain. Aspek kedua dimaksudkan “peranan sosial” yang berkaitan dengan suatu status tertentu, yang diharapkan dari seseorang yang menduduki status tertentu. Status sosial ada tiga yaitu ascribed-status (berdasarkan kelahiran), assigned-status (pemberiaan atau “diberikan”) dan acvieved-status (status yang diperoleh karena peruangan atau dicapai).
Periksa kembali analisis Weber tentang konsep kelas, status dan partai. Max Weber. 1946. Max Weber: Essay in Sociology, translated by H.H. Gerth and C. Wright Mills. Oxford University Press, Inc.
Posted by nyanyo on March 30, 2009 ·
Oleh I Wayan Suyadnya
Masyarakat merupakan sekumpulan individu yang membentuk sistem sosial tertentu dan secara bersama-sama memiliki tujuan bersama yang hendak dicapai, dan hidup dalam satu wilayah tertentu (dengan batas daerah tertentu) serta memiliki pemerintahan untuk mengatur tujuan-tujuan kelompoknya atau individu dalam organisasinya. Dalam masyarakat itu kemudian semakin lama terbentuk suatu struktur yang jelas yaitu terbentuknya kebiasaan-kebiasaan, cara (usage), nilai/norma dan adat istiadat. Struktur sosial yang terbentuk ini kemudian lama kelamaan menyebabkan adanya spesialisasi dalam masyarakat yang mengarah terciptanya status sosial yang berbeda antar individu.
Perbedaan status sosial di masyarakat tentunya akan diikuti pula oleh perbedaan peran yang dimiliki sesuai dengan status sosial yang melekat pada diri seseorang.
Pembedaan-pembedaan inilah yang menimbulkan setiap individu dalam suatu masyarakat menimbulkan adanya pelapisan sosial atau yang lebih dikenal dengan stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial pada kenyataannya adalah seperangkat kerangka konseptual bagaimana memahami dan mendefinisikannya sebagai satu aspek dari organisasi sosial. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Kelley, “since every individual occupies numerous social position and plays many roles, it is possible to classify persons into status-role categories, which are ranked in terms of the relative position of their roles taken as a whole”. Esensi dari stratifikasi sosial adalah setiap individu memiliki beberapa posisi sosial dan masing-masing orang memerankan beberapa peran, sehingga hal ini memungkinkan untuk mengklasifikasikan individu-individu tersebut ke dalam kategori status-peran, dimana perangkingan didasarkan atas posisi relatif dari peran-peran yang mereka mainkan secara keseluruhan. Stratifikasi sosial didefinisikan secara eksplisit atau implisit sebagai sistem fungsional yang diakui dalam diferensiasi dan posisi rangking dalam kelompok, asosiasi, komunitas dan masyarakat. Dari definisi tersebut dapat dilihat terdapat tiga (3) elemen stratifikasi yaitu: (i) sistem perangkingan posisi sosial individu, (ii) struktur sosial yang dapat diaplikasikan pada segmen yang luas, dan (iii) berlangsung dalam periode waktu yang lama.
Berdasarkan definisi dari stratifikasi sosial di atas, dapat dilihat dengan jelas bentuk dari diferensiasi sosial, tetapi terdapat sebuah perbedaan dari diferensiasi sosial. Bentuk-bentuk lain dari diferensiasi sosial adalah peran kekerabatan/keluarga (kinship roles), peran berdasarkan jenis kelamin (sex roles), atau peran berdasarkan usia (age roles), dimana penentuannya didasarkan atas kualitas masing-masing individu. Oleh karena itu, stratifikasi sosial merupakan konsep yang universal. Stratifikasi sosial bersifat sangat luas karena stratifikasi sosial itu menunjukkan atau memiliki fungsi sosial, diantaranya: (i) untuk memberikan kemudahan dalam pembagian kerja yang jelas, untuk memudahkan masing-masing individu menjalankan tugas-tugasnya (sebagai fungsi sosial dibutuhkan untuk mengetahui kedudukan seseorang dalam struktur yang tinggi); (ii) untuk memudahkan dalam pemberian penghargaan (reward) baik dalam bentuk uang, prestise maupun kekuasaan; (iii) sebagai fungsi sosial untuk memperoleh kedudukannya tidak berdasarkan atas dasar reward.
Stratifikasi sosial menunjukkan adanya suatu ketidakseimbangan yang sistematis dari kesejahteraan, kekuasaan dan prestise (gengsi) yang merupakan akibat dari adanya posisi sosial (rangking sosial) seseorang di masyarakat. Sedangkan ketidakseimbangan dapat didefinisikan sebagai perbedaan derajat dalam kesejahteraan, kekuasaan dan hal-hal lain yang terdapat dalam masyarakat. Dalam stratifikasi sosial, ketidakseimbangan dikatakan sistematis untuk menggarisbawahi bahwa ketidakseimbangan dibangun di dalam struktur sosial dan bukan merupakan akibat perbedaan individu atau kesempatan yang didapatkan oleh masing-masing individu. Pada kenyataannya, salah satu pengertian dari sosiologi, bahwa stratifikasi menjadi bagian besar dari masyawakat dan bukan sekedar keberuntungan atau usaha personal. Semua masyarakat di dunia modern dipandang sebagai masyarakat yang berlapis berdasarkan kesejahteraan, kekuasaan dan prestise, dan juga berdasarkan atas hal lain seperti gender, ras dan etnis.
Setiap masyarakat dimana pun adanya berada dalam suatu lingkup geografi dan budaya tertentu pada dasarnya memiliki struktur sosial yang berbeda satu sama lainnya. Dalam masyarakat pasti memiliki stratifikasi atau pelapisan sosial, tidak peduli masyarakat tersebut dikelompokkan ke dalam masyarakat tradisonal ataupun modern. Hanya saja untuk melihat fenomena ini memerlukan kejeliaan. Pada dasarnya pelapisan sosial sebagai suatu ciri dari masyarakat (kehidupan manusia) baik masyarakat tradisional atau modern. Keadaan ini membutuhkan adanya identitas setiap lapisan masyarakat yang dapat dijadikan simbol bagi status sosial seseorang yang dapat memberikan sejumlah hak dan kewajiban dalam kehidupan.
Pelapisan sosial yang ada dalam masyarakat di samping memberikan status sosial seseorang, entah status sosial tersebut naik (mobilitas sosial vertikal naik) ataupun turun (mobilitas sosial vertikal turun) atau hanya mengalami pergeseran status (mobilitas sosial horizontal), semuanya tersebut juga memiliki peran yang tidak dapat dipisahkan dari status sosial yang melekat pada status yang baru tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Weber, bahwa status sosial seseorang terkait dengan kehormatan yang melekat dalam status tersebut. Kehormatan mungkin dapat dihubungkan ke dalam masyarakat yang serba pluralitas yang akan mengacu terhadap adanya pembedaan status sosial seseorang dalam masyarakat. Kalau zaman dahulu (mungkin dibeberapa tempat masih terdapat) bahwa status sosial seseorang erat kaitannya dengan “kelahirannya” (ascribed status), nampaknya hal tersebut seiring dengan perkembangan dan kemajuan pola berpikir dan penegakan hak-hak asasi manusia status sosial berdasarkan atas “kelahiran” mulai banyak ditinggalkan. Orang-orang sekarang sudah mulai bergeser pola pemikirannya, mereka sadar bahwa status sosial seseorang tidak saja hanya dapat diperoleh dari kelahiran seperti keluarga bangsawan tetapi juga akan potensi pengembangan diri misalnya dari pendidikan, pekerjaan, jabatan akademis, pekerjaan yang diperolehnya, atau karena kekayaan yang dimilikinya. Kalau kita lihat bahwa status sosial tersebut diperoleh dengan tiga jalan, dua telah dikemukakan di atas. Pertama, status sosial yang diperoleh karena adanya kelahiran (ascribed status). Sifat dasar status yang dieroleh berdasarkan atas kelahiran adalah konsep “dibebankan” yang melekat pada status tersebut. Misalnya dapat ditemui pada keluarga bangsawan Kerajaan Inggris, Brunei ataupun Kesultanan Yogyakarta dan Solo. Sampai saat ini pun, gelar-gelar ini banyak kita temui dalam kehidupan modern seperti gelar KPGH, KPH dan Raden Mas (yang masih banyak sekali kita temui dalam kebudayaan Jawa). Kedua, yaitu status sosial yang diperoleh dengan jalan karena prestasi yang diperoleh seseorang karena prestasinya dinilai bermanfaat bagi masyarakat, yang diberikan oleh lembaga yang berhak untuk memberikan gelar atau penghargaan tersebut. Misalnya Gelar “Lord” atau “Sir” yang diberikan oleh Kerajaan Inggris, Gelar “Datuk” atau “Tan Sri” yang diberikan oleh Kerjaan Malaysia, Kanjeng Raden Temenggung (KRT) oleh Kesultanan Yogayakarta ataupun Gelar Doktor Honoris Causa (Dr(Hc)) dari sebuah universitas yang sebenarnya hanya boleh dipergunakan ketika yang bersangkutan ada dalam kegiatan resmi universitas yang memberikan gelar tersebut. Terakhir, ketiga, gelar atau penghargaan yang diperoleh karena adanya prestasi (achievement) yang diperoleh seseorang dalam bidang ilmu pengetahuan. Contohnya gelar Ir, Drs, S.Sos,M.Si, MSc, MA, DR ataupun Ph.D.
Bentuk Stratifikasi: Kasta, Estate dan Kelas Sosial
Anggapan masyarakat modern secara refleks, bahwa tahap-tahap dalam pembangunan, pekerjaan dalam organisasi dan pekerjaan berhubungan dengan struktur sosial masyarakat setempat yang mana memberikan kerangka substansial yang terdiri dari individu-individu, kelompok dan institusi dimana mereka hidup. Permasalahan utama dalam masyarakat yang sering kali dilihat dan banyak mendapat perhatian adalah kelas sosial (social class), ketidakseimbangan (Inequality) dan perubahan sosial (social change). Konsep kelas muncul untuk mengidentifikasi individu-individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat yang membedakannya dalam mendapatkan fasilitas kesehatan, ekonomi, kesejahteraan. Menurut Sanderson, sistem stratifikasi sosial berkenaan dengan adanya dua atau lebih kelompok dalam suatu masyarakat tertentu, yang anggota-anggotanya memiliki kekuasaan, hak-hak istimewa, dan pretise yang tidak sama pula. Sistem stratifikasi sosial ada tiga yakni caste, estate dan class system.
Sistem Kasta
Sistem kasta memilki karakteristik sistem kelas yang horizontal (strata) yang merefresentasikan area-area fungsional yang terdapat dalam masyarakat. Area-area tersebut meliputi religi (agama), pendidikan, pemerintahan dan bisnis. Masing-masing area kemudian disusun berdasarkan atas tingkat kepentingan fungsional dalam masyarakatnya. Penentuan urutan tersebut terkadang merupakan hasil dari perjuangan kelompok tertentu yang ada dalam masyarakat dan terkadang merupakan hasil penaklukan dari kelompok yang berada di luar masyarakat. Dalam kedua kasus tersebut, sistem distabilkan melalui nilai-nilai dalam masyarakat. Konsep kasta merupakan gejala khas masyarakat feodal, sedangkan kelas tersebut adalah gejala masyarakat pasca-feodal (postkolonial). Sebagai daerah bekas pendudukan Hindu yang bersifat feodalisme, Indonesia masih memiliki ciri dan karakteristik masyarakat yang berbentuk kasta.
Istilah Kasta umumnya berkenaan dengan bentuk kaku dari stratifikasi sosial masyarakat yang ditandai dengan adanya strata edomogamus (dalam perkawinan), yang mempraktekkan penolakan terhadap sesama dan tidak memungkinkan terjadinya mobilitas. Menurut McCord, sistem kasta atau sistem yang mirip dengannya mulai ada pada masyarakat Hindu di India sekitar 2000 tahun yang lalu. Dalam ideolgi Hindu India ini setiap hubungan dengan kasta lain (apalagi yang dibawahnya) adalah sesuatu yang terlarang.
Sistem kasta yang masih kental di dunia dapat kita lihat masih ada dalam sistem kemasyarakatan, khususnya di India. Sistem kasta Hindu merupakan bentuk rumit dan kaku dari stratifikasi sosial di dunia ini. Sistem ini kemungkinan juga merupakan fenomena sosial yang paling sedikit dimengerti dalam ilmu sosial. Kasta disini seringkali mirip dengan “klan” jenis kolektif yan lebih lama yang mengasumsikan sebuah fungsi dari asosiasi. Di India, sebenarnya ada lima kasta (satu kelompok sering kali disebut sebagai kelompok yang tidak memiliki kasta) yang berkembang, namun seiring dengan adanya doktrin tradisional yang sering disebut dengan kasta hanya empat yakni Kasta Brahmana (Pendeta), Ksatrya (keluarga raja dan pemimpin kerajaan), Waisya terdiri dari golongan pedagang dan Kasta Sudra yakni para petani, sedangkan Kasta yang tidak memiliki “Kasta” dinamakan dengan sebutan Hariyan. Kasta Sudra memiliki tempat rendah dan dianggap sebagai kasta yang kotor oleh golongan kasta yang ada diatasnya. Dalam Weda, konsep sebenarnya tidak ada, ini hanya merupakan sebuah akal-akalan atau siasat dari kaum Brahmana (kaum terpelajar dan hanya yang diijinkan waktu itu untuk membaca kitab suci atau mendapatkan pendidikan) untuk mempresentasikan dirinya sebagai kasta tertinggi, sedangkan sisanya memiliki kasta yang lebih atau agak dekat dengannya.
Kemunculan kelas kasta ini sebagai bentuk kolaborasi antar pendeta (rohaniawan) yang dalam hal ini sebagai kelas yang dominan dengan tuan tanah (mencengkramkan feodalisme) untuk mengembangkan kultur hemogeni sistem kasta yang diselenggarakan dari ajaran Weda, Kitab Suci Agama Hindu. Hegemoni budaya (ideologi yang dominan) ini meenggaris bawahi bahwa tipa-tipa orang dalam masyarakat dilahirkan pada kedudukan (status), struktur sosial dan kasta tertentu sehingga sangat tabu bagi masyarakat untuk melakukan perkawinan antar kasta karena hal tersebut dianggap sebagai hal yang melanggar aturan, norma dan dinilai sebagai perkawinan kotor atau najis. Sehingga ada kecenderungan terjadi eksploitasi oleh kelas dominan (pendeta) terhadap kelas yang lebih rendah, begitu seterusnya.
Gould menyatakan masyarakat yang umum mengembangkan sistem stratifikasi sosial yang menyerupai kasta adalah masyarakat yang agraris. Masyarakat kasta memiliki ciri-ciri penting sebagai berikut: (i) tingkat perubahan teknologi relatif lambat; (ii) strata sosial, yang umumnya adalah Ksatrya (prajurit) atau Brahmana (pendeta), memiliki pengaruh atau kekuasaan yang besar; (iii) heterogenitas kultural, sosial atau rasial.
Sistem kasta ini tidak hanya pada bidang-bidang sosial saja, melainkan juga pada bidang-bidang lain terutama ekonomi. Seperti penelitiannya Joan Mecher , penguasaan kasta ternyata pada tingkatan ekonomi, dimana kelas kasta memberi legitimasi kaum penguasa tanah (yang didukung oleh rohaniawan Hindu-merupakan kasta tertinggi di India) merugikan kelas petani yang berkasta lebih rendah. Kasta Heriyan menderita dua kerugian utama yakni, eksploitasi ekonomi dan identitas yang terhina. Hukum-hukum yang melarang praktek eksploitasi ekonomi dan penghinaan identitas tidak memiliki sebuah kekuatan untuk menghalangi praktek-praktek ini. Para Brahmana dari kasta atas memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi kepada kasta yang ada dibawahnya, jika kasta yang dibawahnya mereka anggap melanggar aturan-aturan tradisional masyarakat India.
Dari hal tersebut Mecher mengambil suatu kesimpulan bahwa dalam masyarakat berkasta, para aristokrat tuan tanah berkolborasi dengan kaum rohaniawan (kasta dominan) untuk mengembangkan kultur hegemoni sistem kasta yang diselenggarakan dari ajaran Weda (Kitab Suci Agama Hindu). Dimana hegemoni budaya (ideologi dominan) “kasta” itu menganggap bahwa tiap-tiap individu dalam masyarakat dan hubungan-hubungan antara kasta yang berbeda (barangkali kasta dibawahnya) dianggap sebagai sebuah hubungan yang bersifat kotor, najis, pantangan dan melanggar etika. Dalam hal ini perkawinan camouran antar kasta merupakan sesuatu yang harus dihindari, sehingga dengan perkataan lain hubungan sosial dalam kasta diatur sedemikian rupa. Cara berbahasa, gerak tubuh dan bersikap diatur sedemikian rupa. Bahkan di kadangkala pakaian dan tata cara menggenakan busana pun diatur sedemikian rupa, pakaian yang dikenakan menunjukkan kelas staus seseorang dari kasta mana ia berasal. Sehingga keadaan ini memberikan sebuah kesempatan kepada kasta lebih atas untuk mendominasi kehidupana kasta dibawahnya dengan jalan eksploitasi ekonomi dan penghinaan identitas diri.
Telah dikemukakan di atas bahwa sistem stratifikasi sosial dalam hal ini kasta, sebagai suatu wujud sistem masyarakat dengan pelapisan sosial tertutup, tidak ada yang mutlak tertutup dari suatu gerak sosial (mobilitas). Salah satu bentuknya adalah perkawinan. Telah jauh sebelumnya pada masyarakat di India, dikatakan sebagai suatu hal yang najis untuk berhubungan dengan individu yang berbeda kasta, perkawinan antar kasta menjadi dilarang. Begitu juga hal pada masyarakat Bali.
Bagi masyarakat Bali perkawinan adalah suatu rangkaian kehidupan yang amat penting bagi mereka. Tahapan-tahapan kehidupan masyarakat Bali telah diatur dalam suatu konsep “jalan kehidupan”, mulai datri masa menuntut ilmu (Brahmacari), masa membina rumah tangga dan masa mengasingkan diri kepada Tuhan. Konsep ini sudah tertanam pada masyarakat Bali. Sebenarnya ada tiga upacara besar dalam masyarakat Bali yakni Perkawinan, Kematian (ngaben) dan upacara-upacara agama. Ngurah Bagus menyatakan bahwa berdasarkan adat lama yang masih kental dengan sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa), sedapat mungkin perkawinan yang dilakukan oleh seorang pemuda dan pemudi yang masih memiliki kesamaan klen dan tidak diperbolehkan dengan orang-orang yang dianggap memiliki derajt lebih tinggi dalam kastanya. Perkawinan adat Bali bersifat endogami klen, sedangkan perkawinan yang masih dicita-citakan oleh masyarakat Bali yang masih bersifat kolot adalah perkawinan antar anak-anak dari dua orang saudara laki-laki. Orang-orang yang masih se-klen (masih dalam satu sanggah, tunggal dadia, tunggal kawitan), merupakan orang-orang yang setingkat kedudukannya dalam adat dan agama.
Demikian juga halnya dalam kasta pada masyarakat Bali, perkawinan antar kasta sangatlah dijaga agar jangan sampai terjadi. Batasan perkawinan hanya dalam satu klen atau kasta yang segolongan sangatlah kuat dijaga oleh generasi tua dalam masyarakat Bali. Hal ini didasari atas pemikiran mereka bahwa perkawinan antar kasta atau klen akan mengakibatkan terjadinya ketegangan-ketegangan atau noda-noda dalam keluarga. Dala hal ini teruatam harus dijaga perkawinan dari anak wanita yang memiliki status kasta lebi tingi dengan pemuda yang memiliki kasta lebih rendah. Perkawinan seperti ini membawa malu dan turunnya gengsi kasta dalam masyarakat, maka wanita ini akan dinyatak keluar dari dadia-nya dan secara fisik suami istri akan dibuang (maselong) untuk berapa lama, ke tempat jauh dari asalnya dan tidak diperbolehkn berhubungan dengan masyarakat.
Sistem Estate
Bentuk kedua dari stratifikasi sosial adalah sistem estate yang pada dasarnya juga berdasarkan pada sistem kelas tertutup, tetapi lebih longgar bila dibandingkan dengan sistem kasta. Sistem estate mencapai masa kejayaannya pada masa feodalisme di eropa dan masih digunakan oleh beberapa negara yang tetap mempertahnkan sistem aristokrasi atau kepemilikan tanah secara turun temurun (feodalis Eropa). Istilah ”estate” berasal dari terminologi feodal Eropa.
Seperti sistem kasta, sistem estate didasarkan pada urutan posisi berdasarkan atas stratifikasi fungsional. Bedanya adalah area-area fungsional tersebut dianggap sebagai pelengkap dan sama pentingnya. Dengan kata lain, area militer, religius (agama), pemerintah dan ekonomi dianggap sama pentingnya dalam masyarakat. Oleh karenanya area-area fungsional tersebut dianggap sebagai urutan vertikal dari kekuasaan bukan sebagai sebagai urutan horizontal.
Sistem Kelas
Aristotle menggambarkan bahwa didunia ini ada tiga kelas utama yang menyusun kehidupan dan akan selalu tergambar dalam setiap masyarakatnya, pengkategorian kelas menurut Aristoteles ini berdasarkan atas status sosial yang mereka peroleh dari ukuran ekonomi yaitu seberapa besar kekayaan yang dipunyainya. Ketiga kelas tersebut adalah kelas atas (kelas kaya), kelas bawah (kelas miskin) dan kelas yang ketiga, yang berada diantara kelas kaya dan kelas miskin tersebut yakni kelas menengah. Kelas menengah merupakan kelas yang selama ini membuat kestabilan dalam masyarakat. Kelas menengah ini memiliki posisi penting dalam rangka menjaga kestabilan masyarakat.
Sebagaimana yang dikemukana oleh Dahrendorf, istilah kelas pertama kali muncul dan diperkenalkan oleh bangsa Romawi dan sepanjang sejarahnya kelas tersebut selalu mengalami pergeseran arti . Awal mulanya digunakan untuk istilah dalam pembayaran pajak, yang terbagi ke dalam dua kelas, yakni kelas assidui atau golongan kaya dan plotariat atau golongan miskin. Pergeseran selanjutnya adalah istilah yang dipergunakan oleh Marx, khususnya dalam bidang ekonomi yakni untuk menentukan kesenjangan sosial.
Menurut Elster, teori Marx tentang kelas mulai dengan seperangkat kepentingan tertentu yang didefinisikan secara obyektif yang muncul dari hubungan-hubungan penindasan serta dominasi oleh kelompok elite terhadap aset produksi. Obyektifitas manusia mencul akibat adanya pemikiran bahwa orang senantiasa memiliki kepentingan agar tidak menjadi kelompok atau individu yang didominasi oleh kelompok atau individu lain. Peningkatan kepentingan tersebut hanya dapat diraih secara kolektif, atau dalam artian membentuk suatu kelompok yang memiliki karakteristik yang sama atau kepentingan yang sama. Teori ini juga mengkaji tentang kenapa kepentingan obyektif muncul sebagai kepentingan subyektif yang tidak dirasakan oleh sebagian kelompok orang. Teori ini juga mengkaji tentang perjuangan kelas dari masyarakat.
Pengajuan perbedaan kelas dan status selanjutnya banyak dibahas juga oleh Weber dengan secara lebih ekplisit menyebut kelas, status dan partai. Ketiga kelas ini menunjukkan tatanan sosial dalam masyarakat. Kelas merupakan stratifikasi sosial berkenaan dengan hubungan produksi dan penguasaan harta benda. Kelompok status lebih ditekankan pada nilai yang dianut dalam kelompok sosial sebagai suatu perwujudan stratifikasi berkaiatan dengan pengkonsumsian atau penggunaan harta benda sebagaimana yang dicerminkan sebagai gaya hidup. Sedangkan partai merupakan perkumpulan sosial yang berorientasi terhadap penggunaan kekuasaan sosial dalam masyarakat guna mencapai kepentingan-kepentingannya (individu atau kelompok) dalam masyarakat.
Marx tidak pernah secara khusus dan mendetail membahas dan meyebutkan apa yang dia maksud sebenarnya dengan kelas. Namun yang terjadi adalah merekonstruksi berbagai definisi dari tulisan-tulisan yang pernah ditulisnya dengan cara merujuk kembali tentang apa yang dimaksudnya sebagai kelompok-kelompok yang seringkali dirujuk sebagai kelas. Pandangan Marx secara khusus yakni kelas-kelas merupakan unit-unit fundamental (dasar) dalam konflik sosial yang berimplikasi terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat. Kelas-kelas tidak dapat dibedakan secara khusus dan mendetail, namun demikian kelas memiliki keberadaan riil dalam masyarakat.
Jadi konsep kelas menurut Marx, mengandaikan bahwa terjadi interaksi-interaksi antara anggota-anggota kelas-kelas yang berbeda dengan cara mentransfer perintah atau surplus. Marx beranggapan bahwa pelaku utama dalam kemasyarakatan adalah adanya kelas-kelas ini. Sehingga sangat perlu kita memperhatikan keberadaan kelas ini dalam masyarakat. Menurut Marx, kelas sosial merupakan gejala khas masyarakat pascafeodal, sedangkan golongan dalam sosial dalam masyarakat feodal dan kuno disebut dengan “kasta”.
Ketertutupan Kelas Sosial dan Mobilitas Sosial
Hubungan antara kelas dan kasta pada masyarakat yang bersifat feodalistik lebih jelas lagi diungkapkan oleh Parkin mengenai ketertutupan sosial. Ketertutupan sosial merupakan kemampuan suatu kelompok untuk menutup diri dari masuknya anggota kelompok lain untuk menjadi bagian atau anggota kelompoknya. Ketertutupan kelas sosial merupakan sebuah cara utama yang penting dalam membentuk sebuah kelas baru. Pembentukan kelas sosial yang dominan terhadap masyarakat dapat dicapai melalui kontrol monopolistik terhadap sumberdaya, termasuk yang diutamakan Marx seperti tanah dan kapital, di samping kekerasan melalui senjata.
Weeden, seperti yang dikutip dari pendapatnya Weber, menyatakan bahwa ketertutupan sosial menunjukkan sebuah kompetisi untuk mempertahankan kelompoknya dari penurunan ketertarikan terhadap kelompok. Suatu kelompok akan mencoba untuk memonopoli keuntungan dan memaksimlakan ganjaran mereka dengan menutup kesempatan dari luar yang mereka definisikan sebagai kelas bawah (inferior) atau tidak memiliki kriteria seperti yang mereka syaratkan. Ketertutupan sosial ini dapat berdasarkan bermacam-macam hal, diantaranya karakteristik yang nampak ataua kelihatan, penggolangan berdasarkan ras, latar belakang sosial, bahasa, agama dan gender. Teori ketertutupan sosial juga menggolongkan berdasarkan kriteria-kriteria individu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam masyarakat seperti kepercayaan terhadap tingkat pendidikan, pengetahuan, atau jumlah kekayaan.
Ketertutupan dalam kasta merupakan hal yang spesifik dari teori ketertutupan sosial.
Ketertutupan kelas sosial (kasta) merupakan sebuah warisan feodalistik. Pada kebanyakan masyarakat tani (masyarakat agraris) yang merupakan refresentasi dari keberadaan sistem stratifikasi sosial yang mirip kasta masih kuat terjadi, petani hanyalah sebagai penyewa lahan pertanian dari kelompok masyarakat yang memiliki modal (penguasa tanah). Dengan keadaan dan dibawah bayang-bayang dari foedalistik peninggalan Hindu, maka menjadi suatu hal yang sulit untuk melakukan mobilitas antar kasta.
Mobilitas antar kasta sendiri merupakan suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Sruktur sosial mencakup sifat-sifat hubungan antara individu dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompoknya. Pada masyarakat berkasta, umumnya mobilitas sosial yang terjadi adalah mobilitas yang bersifat horizontal (perkawinan satu kasta) dan sangat jarang ditemui adanya mobilitas sosial yang bersifat vertikal antar kasta (perkawinan antar kasta). Mobilitas sosial vertikal dimaksudkan sebagai perpindahan inidvidu atau objek sosial dari satu status ke status yang lainnya yang tidak sederajat. Gerak sosial sesuai dengan arahnya digolongkan menjadi dua, yaitu mobilitas sosial naik (social climbing) dan mobilitas sosial turun (social sinking). Mobilitas sosial naik (social-climbing) ini memiliki dua bentuk utama, yakni masuknya individu yang mempunyai kedudukan rendah ke dalam kedudukan yang lebih tinggi, pada kedudukan yang telah ada dan pembentukan suatu kelompok baru, yang kemudian ditempatkan pada derajat lebih tinggi dari kedudukan individu pembentuk kelompok tersebut. Sedangkan mobilitas sosial turun (social-sinking) mempunyai dua bentuk utama, yaitu turunnya kedudukan individu ke kedudukan yang lebih rendah derajatnya dan turunnya derajat sekelompok individu yang dapat berupa disintegrasi kelompok sebagai kesatuan.
Namun demikian, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam melihat dan mengkaji mobilitas sosial vertikal ini, diantaranya: (i) hampir tidak ada sebuah masyarakat yang memiliki sistem sosial yang sangat tertutup, dimana sama sekali mobilitas vertikal terjadi; (ii) betapa terbukanya sistem pelpisan sosial suatu masyarakat tidak akan mungkin suatu mobilitas sosial vertikal dapat dilakukan dengan sebebas-bebasnya, pasti memiliki banyak sekali hambatan-hambatan; (iii) mobilitas sosial vertikal yang umum berlaku bagi semua masyarakat tidak ada, setiap masyarakat masyarakat memiliki ciri dan karakteristik sendiri bagi mobilitas sosialnya; (iv) laju mobilitas sosial vertikal yang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik serta pekerjaan adalah berbeda; dan (v) berdasarkan bahan-bahan sejarah, khususnya dalam mobilitas sosial vertikal yang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan pekerjaan, tidak ada kecenderungan yang kontinyu perihal bertambah atau berkurangnya laju mobilitas sosial. Hal ini berlaku bagi negara, lembaga sosial yang besar dam juga bagi sejarah manusia.
Sebuah Catatan untuk Studi Lanjut
Terdapat pergeseran bidang kajian dalam studi stratifikasi sosial yaitu dari perspektif klasik yang hanya mengkaji bentuk-bentuk stratifikasi sosial (area-area fungsional) ke arah perspektif kontemporer dimana yang dikaji adalah masalah kelas, status dan kekuasaan. Kelas, pada perspektif klasik, yang dikaji adalah terbentuknya kelas penguasa dan kelas yang dikuasai yaitu penguasaan faktor-faktor ekonomi (penguasaan alat-alat produksi dan modal). Sedangkan pada perspektif modern, orientasi studi tentang kelas, lebih pada kajian bagaimana pendapatan, pekerjaan dan kesejahteraan mempengaruhi terbentuknya kelas-kelas baru. Sedangkan pada status, bagaimana individu tersebut memaknai status dan peran yang dimiliki dalam kelompok serta bagaimana kekuasaan-kekuasaan yang melekat dalam status sosial tersebut memiliki hubungan dengan sistem stratifikasi yang lain.
===============
Notes:
John D. Kelley. 1961. The Sociology of Stratification: A Theory of the Ppower Structure of Society. PhD Dissertation (Louisiana State University), pp. 375-376. Sedangkan Polak, mendefinisikan sebagai sejumlah orang yang statusnya sama menurut penilaian sosial dinamakan suatu ”lapisan”, ”golongan” atau ”stratum” dan bahwasannya masyarakat tergolong berdasarkan atas strata (jamaknya stratum), istilah ini merujuk pada definisi stratifikasi. Periksa kembali Maijor Polak. 1991. Sosiologi: suatu buku pengantar ringkas. Jakarta: PT. Icthiar Baru.
Kingsley Davis and Wilbert A. Moore. 1945. Some Principles of Stratification. The American Sociological Review, V, 10, No. 2, pp. 242-249.
Weber, Max. 1947. the Theory of Social and Economic Organization. New York: Free Press.
Pada prinsipnya secara pribadi, penulis tidak menyetujui adanya penggolongan masyarakat berdasarkan modernitas yaitu masyarakat tradisional atau modern. Berdasarkan atas pengamatan penulis, budaya satu dengan budaya lainnya cenderung memiliki makna masing-masing yang kadangkala hanya bisa dipahamioleh masyarakat yang bersangkutan.
Pada hakekatnya setiap kebudayaan memiliki prasyarat fungsional bagi masyarakatnya. Dengan kata lain kita tidak dapat menilai kebudayaan orang lain berdasarkan atas nilai budaya yang kita anut dalam kebudayaan kita.
Sanderson, Stephen K. 2003. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Status adalah kedudukan sosial seseorang dalam kelompok serta masyarakatnya.
Status mempunyai dua aspek, yaitu aspek yang agak stabil dan dinamis. Aspek pertama bersifat hierarkis (mengandung perbandingan tinggi atau rendah secara relatif terhadap status-status lain. Aspek kedua dimaksudkan “peranan sosial” yang berkaitan dengan suatu status tertentu, yang diharapkan dari seseorang yang menduduki status tertentu. Status sosial ada tiga yaitu ascribed-status (berdasarkan kelahiran), assigned-status (pemberiaan atau “diberikan”) dan acvieved-status (status yang diperoleh karena peruangan atau dicapai).
Periksa kembali analisis Weber tentang konsep kelas, status dan partai. Max Weber. 1946. Max Weber: Essay in Sociology, translated by H.H. Gerth and C. Wright Mills. Oxford University Press, Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar