Konsumerisme dan Sosiologi Konsumsi
oleh: HARYANTO SOEDJATMIKO
Konsumerisme dan Sosiologi Konsumsi (Mujibur Rohman) Jika ungkapan Descartes “Aku berpikir, maka aku ada!” menjadi kebanggan dan wujud peneguhan eksistensi manusia berdasarkan rasionalitas. Saat ini, yang dominan adalah, “Aku berbelanja, maka aku ada!” Sebuah peneguhan eksistensial manusia yang kadang tanpa dasar nalar. Kapitalisme pasar membentuk manusia menjadi makhluk ekonomi sebagai satu-satunya dimensi kehidupannya. Tentu saja, kemudian, hubungan sosial antar sesama manusia sarat dengan simbol dan logika ekonomi. Ketika produksi kapitalisme mencapai puncak kelimpahan barang, sehingga kebutuhan tercukupi, perusahaan berusaha bukan hanya mencipta barang, namun sekaligus menciptakan kebutuhan. Ini merupakan upaya kapitalisme pasar untuk terus menguasai kehidupan. Melalui berbagai instrumen dan cara-cara persuasif, kapitalisme memaksa masyarakat mengkonsumsi tanpa henti. Muncul kemudian kebutuhan semu, bukan karena butuh (need), namun lebih pada ingin (want). Produksi tentu tak lepas dari konsumsi, pasangannya. Sebab keduanya saling membutuhkan. Pada awal perkembangan masyarakat, produksi adalah upaya usaha memenuhi kebutuhan sendiri. Namun, karena barang yang dihasilkan berlebih maka ditukarkan barang lain, untuk tujuan yang berbeda. Pertukaran barang ini kemudian memunculkan pasar, dan barang tersebut berubah nilainya menjadi komoditas. Karl Marx melihat hal tersebut sebagai perubahan nilai guna (use value) menjadi nilai tukar (exchange value). Dari gambaran di atas kita melihat bahwa, mengkonsumsi sebenarnya bukan hanya persoalan pada zaman kini, ketika mall dan pusat perbelanjaan menjamur. Konsumsi merupakan perilaku primitif manusia. Bahkan, menurut Plato, terbentuknya masyarakat merupakan akibat manusia tak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Yang nampak berbeda adalah intensifikasi dan perluasan jaringan pemasaran yang lebih kompleks. Munculnya pusat perbelanjaan dalam bentuk yang lebih “baru”, membuat konsumsi menjadi sebentuk candu. Tentu saja perubahan pola perilaku konsumsi tidak terjadi begitu saja. Perubahan pola dan perilaku konsumsi terjadi seiring perkembangan infrastruktur masyarakat. Berbagai penemuan di bidang teknologi dan meletusnya Revolusi Industri, mengkonsumsi menjadi niscaya setelah produksi. Produksi barang secara massal meniscayakan proses produksi mengalami percepatan. Begitu pula usaha untuk menghabiskan dan menggunakan barang. Zaman ini memunculkan masyarakat baru yakni masyarakat konsumen. Masyarakat inilah yang menjadi pengguna barang yang dihasilkan oleh produksi massal tersebut. Perubahan sosial serta produksi massa industrial yang mempengaruhi pola perilaku mengkonsumsi mendorong beberapa tokoh untuk mengkajinya. Oleh Haryanto Soedjatmiko, dalam Saya Berbelanja, maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris (Jalasutra: 2008), membagi perilaku konsumsi ke dalam tiga periode dengan masing-masing kondisi sosial di sekitarnya. Tiga periode tersebut yakni; periode klasik, kemunculan sosiologi konsumsi, dan periode posmodernis. Teori konsumsi klasik digawangi oleh Karl Marx, Max Weber, dan George Simmel. Pada dasarnya Marx adalah seorang yang lantang mengecam kapitalisme dengan berbagai implikasi eksploitasinya. Sehingga, tak mengherankan bila Marx mengatakan bahwa hasil produksi tidak secara langsung terkait dengan kebutuhan masyarakat. Barang produksi adalah komoditas yang mendahulukan nilai tukar daripada nilai guna. Dalam kondisi demikian, masyarakat merupakan obyek yang didorong produsen untuk mengkonsumsi. Masyarakat berada pada subordinat produksi, di mana produsen mampu menciptakan kebutuhan masyarakat. Pada saat kapitalisme mulai meletakkan dasar-dasarnya dengan kuat. Berikutnya Weber muncul dengan ide tentang Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Kritik Weber bahwa, etika Protestan bukan hanya menghabiskan barang konsumsi sebagaimana yang dilakukan masyarakatnya saat itu. Namun, pada investasi dan kerja keras. Weber tampak ingin semakin memperjelas dan memperkokoh kapitalisme dengan bentuk investasi kembali keuntungan produksi. Meskipun masyarakat kental dengan semangat Kalvinisme ini, namun perilaku konsumsi tidak berhenti. Masyarakat mulai sadar akan kesenangan berkat kemajuan industri. Tokoh berikutnya adalah George Simmel, yang menekankan interaksi pertukaran, terutama dalam perekonomian. Munculnya uang sebagai alat tukar dan munculnya perkotaan memunculkan model baru dalam mengkonsumsi. Pertumbuhan kelas sosial urban dan model konsumsi baru tersebut tidak bisa dipisahkan dari modifikasi barang konsumsi. Pertumbuhan imajinasi mengenai barang konsumsi muncul dari penilaian terhadap barang konsumsi. Puncak imajinasi itu bergantung dan berperan pada munculnya masyarakat urban yang berorientasi pada pemasaran mode (fashion) (Chaney, 2006: 55). Simmel menyimpulkan bahwa mengkonsumsi membentuk konstruksi masyarakat dan menimbulkan budaya baru masyarakat. Di sini terjadi pergeseran dari masyarakat konsumen (consumer society) menjadi budaya konsumen (consumer culture). Kemudian muncul seorang sosiolog dari Prancis, Pierre Bourdieu, yang yang menurut buku ini mempelopori kemunculan periode sosiologi konsumsi. Bourdieu menghubungkan konsumsi dengan simbol-simbol sosial dalam masyarakat. Dalam pandangannya produk konsumsi, merupakan simbol status dan kelas sosial seseorang. Musik klasik misalnya, hanya dinikmati orang-orang tertentu (biasanya dari kelas atas). Konsumsi dibentuk oleh ide, simbol, selera, yang kemudian secara tidak langsung maupun tidak menciptakan pembedaan dalam masyarakat. Dalam konsumsi, selera, preferensi, gaya hidup, dan standar nilai ditentukan oleh kelas yang lebih superior. Kelas atas bukan hanya unggul secara ekonomi politik, namun juga budaya dengan menentukan dan melakukan hegemoni dalam pola-pola konsumsi. Pada perkembangan kapitalisme akhir, dalam teori-teori sosial muncul posmodernisme. Posmodernitas menurut Baudrillard adalah dunia yang penuh dengan simbol dan citra. Termasuk dalam konsumsi. Ketika orang mengkonsumsi, maka yang dikonsumsi sebenarnya bukan nilai barang, namun citra atas barang tersebut. Konsumsi dirayakan seiring dengan munculnya pusat perbelanjaan (super)modern, kapitalisme neoliberal, dan pasar bebas. Kajian terhadap konsumsi masyarakat posmodern oleh buku ini diwakili dua tokoh posmodernis, yakni Mike Featherstone dan Jean Baudrillard. Berbeda dengan dua zaman sebelumnya atau juga dalam pandangan Featherstone, di mana konsumsi menjadi sumber diferensiasi masyarakat. Justru posmodernitas menurut Baudrillard megaburkan kelas dan status sosial. Bahkan Baudrillard menyatakan era posmodern sebagai “matinya yang social”, kematian masyarakat. Siapa pun yang mampu bisa merayakan konsumsi tanpa memandang kelas dan status sosial. Konsumsi memberikan identitas tertentu tanpa memandang batas-batas sosial. Featherstone menjelaskan budaya konsumen dengan membaginya ke dalam tiga tipe Chaney, 2006: 67); pertama, konsumerisme merupakan tahap tertentu kapitalis. Kedua, konsumerisme dan konsumsi merupakan persoalan yang lebih sosiologis mengenai relasi benda-benda dan cara melukiskan status. Praktik konsumsi merupakan strategi untuk menciptakan dan membedaan status sosial. Tipe kedua dari konsumsi ini dapat kita lihat dengan munculnya komunitas pengguna barang tertentu, misalnya klub motor merk tertentu. Pandangan ini berbeda dengan pandangan Baudrillard di atas. Ketiga, Featherstone melihat munculnya kreativitas konsumsi. Kreativitas konsumsi ini terkait dengan estetikasi konsumsi yang pada perkembangan selanjutnya menciptakan mode, estetisasi bentuk, dan gaya hidup. Tokoh selanjutnya, Jean Baudrillard, melihat konsumerisme sebagai logika untuk memenuhi kepuasan hasrat. Melimpahnya barang konsumsi bukan lagi karena kebutuhan masyarakat, namun lebih pada pemuasan nafsu mereka. Dalam pandangan Baudrillard, kapitalisme akhir memanfaatkan mesin hasrat tersebut untuk terus membelenggu masyarakat dalam jerat konsumerisme. Praktik-praktik konsumsi selanjutnya menjadi gaya hidup masyarakat. Konsumsi menjadi cara pandang (baru) masyarakat. Seiring dengan terus beroperasinya industri lintas negara dan tumbuhnya supermarket, hipermarket, dan mall. Bahkan dengan strateginya yang cantik, barang konsumsi disesuaikan dengan pengalaman dan pandangan filosofis masyarakat setempat (fordisme). Munculnya strategi fordisme tersebut terus-menerus menempatkan masyarakat dalam kubangan konsumerisme. Kajian tentang konsumerisme dan sosiologi konsumsi menjadi penting saat ini. Sigfikansinya adalah, perubahan masyarakat saat ini cenderung menuju pada budaya komsumeris seiring menjamurnya pusat perbelanjaan. Kajian ini dimulai dari tokoh klasik, tokoh sosiologi konsumsi, dan teori posmodern dengan konteks sosial masing-masing zaman mereka. Kajian keilmuan sosiologi dalam masyarakat konsumsi jelas akan senantiasa penting di masa yang akan datang.
Membedah Belanja sebagai Gaya Hidup
oleh: HARYANTO SOEDJATMIKO
Membedah Belanja sebagai Gaya Hidup oleh: Haryanto Soedjatmiko, BA Phil. “tahukah anda satu kata penting hari ini?” BELANJA Mau makan atau minum? Mau sekolah, kuliah, atau bekerja? Atau, mau berlibur? Mau apa lagi? Apa yang kita perlukan? Belanja, tentu saja. Hidup kita sekarang ini tidak bisa lepas dengan belanja. Belanja adalah gaya hidup kita di masa sekarang. Bayar sekarang atau nanti? Sistem kredit membuat berlakunya, “Pakai dulu, bayar kemudian”. Ketika Descartes berkata, Cogito Ergo Sum (Saya Berpikir, maka Saya Ada), saat ini kita pun dapat berkata, Emo Ergo Sum (Saya Belanja, maka Saya Ada). Itu merupakan slogan hidup manusia saat ini. Hal ini berawal dari kegiatan yang bisa jadi kita lakukan tiap hari: belanja. Belanja menjadi tolok ukur jati diri hidup manusia sebab terkait dengan banyak aspek. Aspek psikologis, misalnya, di mana belanja ada hubungan dengan rasa gengsi. Aspek sosial, dengan belanja bisa menunjukkan status orang tertentu. Belum lagi aspek ekonomi, budaya, politik, dan seterusnya. Singkatnya, melalui belanja, seseorang tidak lagi mementingkan apa yang dapat diperbuat dengan barang tersebut, melainkan apa yang dikatakan barang itu perihal dirinya sebagai konsumen. Berbelanja (shopping) agaknya telah menjadi ciri-ciri manusia yang hidup di zaman kontemporer dewasa ini. Bila berbelanja semula menjadi “perpanjangan” manusia yang hendak mengonsumsi sesuatu, pada perkembangan berikutnya, belanja justru menjadi kegiatan mengonsumsi itu sendiri. Belanja berubah menjadi kebutuhan bagi manusia yang tak cukup diri. Di sinilah letak konsumerisme dalam arti mengubah “konsumsi yang seperlunya” menjadi “konsumsi yang mengada-ada”. Dalam arti ini, motivasi seseorang untuk berbelanja tidak lagi guna memenuhi kebutuhan dasariah yang ia perlukan sebagai manusia, melainkan terkait dengan hal lain, yakni identitas. Orang membeli makanan dan minuman bukan lagi semata-mata guna memenuhi kebutuhan alami, yakni makan-minum. Ini pasti. Akan tetapi, yang dimaksud di sini adalah guna sebuah harga diri. Seseorang akan merasa “lebih baik” bila mampu makan soto ayam di restoran ternama daripada di warteg (warung tegal), misalnya. Singkatnya, manusia tidak lagi hanya membeli barang-barang, melainkan merek ternama yang terkandung di dalam barang tersebut. Jati diri manusia terukur dari kemampuannya memperoleh sesuatu. Ketika belanja menjadi berlebihan di situlah orang mulai berkata tentang konsumtif dan ujung-ujungnya konsumeris. Konsumerisme, pada awalnya adalah consumer-ism, sebuah aliran yang hendak melindungi konsumen dari gempuran barang-barang produksi. Dalam perkembangan selanjutnya, sebagaimana telah disampaikan dalam paragraf sebelumnya, konsumerisme beralih kepada suatu pola pikir dan tindakan di mana konsumen yang dilindungi itu membeli barang bukan karena ia membutuhkan barang tersebut, melainkan karena tindakan membeli itu sendiri memberikan kepuasan kepadanya. Dengan kata lain, bisa saja seseorang yang terjangkit konsumerisme selalu merasa bahwa ia belanja karena ia membutuhkan barang tersebut, meskipun pada momen refleksi berikutnya, ia sadar bahwa ia tak membutuhkan barang tersebut. Inilah akar konsumerisme, yaitu agar ekonomi bisa terus berjalan dengan baik, anggota masyarakat harus terus membeli. “Membeli”, dalam konteks ini, merupakan suatu kewajiban dan suatu tindakan individual dan berangkat dari kebutuhan. Maka, orang membeli meskipun tidak membutuhkan barang yang dibeli. Pada titik ini, konsumerisme memiliki dua nilai. Pertama, sebagai wujud pemuasan kebutuhan identitas dan makna. Kedua, sebagai fungsi sosial dan ekonomis. Seseorang tidak melihat alasan untuk tidak mengonsumsi sebanyak mungkin yang ia bisa. Semula, kemampuan konsumsi dibatasi oleh penghasilan. Namun, melalui layanan kredit, kemampuan konsumsi terus meningkat dan selanjutnya menjerumuskan si konsumen tersebut. Inilah yang tidak disadari. Malahan, yang muncul adalah anggapan bahwa “selama saya mampu membeli, maka yang saya butuhkan itu bisa saya dapatkan”. (http://haryantosujatmiko.multiply.com/ vincent_haryanto@hotmail.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar