Urgensi Kesetaraan Pemaknaan Kota-Desa |
Saturday, 19 November 2011 | |
Jika dilihat almanak dunia, ada tiga hari yang saling berdekatan dan memiliki keterkaitan erat dengan rakyat banyak,yakni Hari Perempuan Perdesaan Internasional yang jatuh pada 15 Oktober lalu Hari Pangan Internasional pada 16 Oktober dan Hari Antikemiskinan Internasional pada 17 Oktober. Sayangnya, hari-hari tersebut berlalu di bulan lalu tanpa banyak perubahan atas rakyat yang merupakan shareholder negeri ini, sekalipun tetap ada perayaan atasnya. Jika melihat masalah tersebut, pembahasan kita tak akan lepas dari masalah di perdesaan. Desa yang kian terlupakan akhirnya secara tidak langsung menimbulkan masalah bagi kota, yaitu meroketnya urbanisasi karena desa kian tidak menarik untuk ditinggali. Desa yang sesungguhnya terbangun menjadi lumbung pangan malah biasanya identik dengan kemiskinan. Lapangan pekerjaan kian tergerus di desa, sementara lahan terus beralih tangan ke orang kota. Selain karena masalah itu, satu hal penting yang terlupakan dan memberikan pengaruh besar atas mandeknya perkembangan desa adalah stereotip kurang berimbang terhadap desa. Kota selalu diasosiasikan dengan hal positif seperti modern, optimistis, maju, cepat, melek teknologi, necis,gaul,ramai,dan lain-lain. Sementara desa diasosiasikan hal negatif seperti keterbatasan, kelemahan,pesimistis,lambat, gaptek, udik, dan sebagainya. Pemaknaan Fungsional Pemaknaan wilayah kota– desa sangatlah beragam dan bergantung pada sudut pandang keilmuan. Hasil kompilasi Nia K Pontoh dan Iwan Kustiawan (2009) sehubungan pemaknaan definisi kota–desa menyebutkan bahwa para engineer berkecenderungan memandang pemisahan kota– desa berdasarkan jumlah kondisi fisik wilayah terbangun (built up area) yang lebih padat–kurang padat. Pakar demografi memisahkannya berbasiskan konsentrasi (jumlah dan tingkat kepadatan) penduduk yang lebih tinggi-rendah. Pakar sosial memandang kota-desa sebagai suatu wilayah yang dihuni oleh kelompok–kelompok sosial masyarakat yang heterogen (tradisional–modern, formalinformal, maju–terbelakang) maupun yang homogen. Pakar ekonomi memandang kotadesa sebagai suatu wilayah yang memiliki kegiatan usaha sangat beragam dengan dominasi di sektor nonpertanianpertanian. Kesemuanya membahas kota-desa secara fungsional, bukan stereotip. Pemaknaan kota–desa secara fungsional cenderung lebih berimbang dan tidak menginginkan ada pengastaan ataupun penegatifan makna seperti yang sering digunakan di tengah masyarakat. Salah satu regulasi pendukung perspektif fungsional berimbang, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 mengenai Penyelenggaraan Penataan Ruang. Di sana secara tegas disebutkan bahwa kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama,bukan pertanian (seperti perdagangan, perindustrian, pelayanan jasa, perkantoran, pengangkutan, dan sebagainya), sedangkan kawasan pedesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam. Lalu apa yang menyebabkan sehingga desa seringkali menjadi “status quo”? Bisa jadi karena ada kenyataan disparitas atau ketidakberimbangan dalam pembangunan, yang terutama disebabkan oleh faktor kebijakan pemerintah, selain ragam faktor lainnya berupa geografi, sejarah, politik, administrasi, sosial budaya, dan ekonomi. Kebijakan pembangunan cenderung lebih menekankan pertumbuhan dengan membangun pusat– pusat pertumbuhan (termasuk perkotaan), yang pada kenyataannya telah menimbulkan kesenjangan antarwilayah secara luar biasa di Indonesia. Investasi dan sumber daya pun cenderung hanya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan di pusat–pusat pertumbuhan. Trickle down effect yang diharapkan, tidak terjadi. Namun, dalam kenyataannya malah digantikan oleh backwash effect, yaitu pengurasan sumber daya secara berlebihan oleh kota terhadap wilayah hinterland-nya. Desa hingga kini tetap berkecenderungan memiliki penduduk miskin yang tinggi (64,23% penduduk miskin Indonesia tinggal di desa), ketersediaan pelayanan jasa yang terbatas, ketersediaan infrastruktur sosial ekonomi yang kurang memadai, ketersediaan lapangan kerja sangat terbatas, income yang rendah, tingkat kesehatan yang rendah, sanitasi perumahan yang buruk,ketersediaan air minum yang berkekurangan, dan sebagainya. Kondisi desa seperti ini selanjutnya menjadi push factor bagi penduduk desa untuk melakukan rural-urban migration. Besar kemungkinan, kenyataan kondisi inilah yang menyebabkan sebagian orang Indonesia berpandangan negatif terhadap hal yang berhubungan dengan perdesaan,terutama oleh orang yang bermukim di perkotaan. Sesungguhnya sebagian orang pun telah memandang negatif terhadap kota dalam konteks kekinian. Kota telah dicap memiliki ragam permasalahan yang sangat kompleks seperti kepadatan, pencemaran, kelangkaan lahan dan sumber daya alam, permukiman kumuh, sanitasi buruk, menurunnya kesehatan, kriminalitas, dan sebagainya. Tidak jarang kota dipandang sebagai racun dan atau parasit atas desa, karena secara langsung ataupun tidak langsung, telah ‘mengendalikan’ perdesaan dalam kacamata kepentingan perkotaan (eksploitasi) sehingga mengakibatkan aliran bersih modal (net capital flow),brain drain,dan berbagai transfer sumber daya yang justru menurunkan potensi desa untuk berkembang. Reparadigma Makna Karena itu, pemaknaan kota-desa sudah sewajarnya tidak dianalogikan lagi dari sisi negatif–positifnya, tapi juga lebih kepada sudut analogi keterkaitan yang lebih arif, tidak memihak, dan tidak saling mengerdilkan. Semisal secara administratif, sudah sepantasnya hubungan kota– desa dianalogikan layaknya hubungan antara orang tua dan anak. Kota hendaknya terus mengayomi dan melindungi desa-desa sekitarnya agar dapat terus tumbuh dan berkembang hingga ‘cukup umur’ untuk menjadi desa mandiri. Sementara desa akan berupaya untuk ‘patuh’ dan ‘menyerap’ ragam regulasi,proses, aktivitas, pembelajaran, anggaran, dan hal positif lainnya sebagai bekal untuk kemandiriannya kelak. Sedangkan secara fungsional, sudah sepantasnya kota– desa dipandang laksana hubungan laki–laki dan perempuan yang setara. Di mana masing-masing telah memiliki kodrat fungsi dan peran ideal dalam kehidupan sehari–hari. Desa setidaknya memiliki, mengelola, dan menyediakan raw material atas takdir keluasan sumber daya alamnya. Sedangkan kota selanjutnya menyiapkan ragam jasa termasuk pengemasan dan processing, kemudian mendistribusikan hasilnya ke ragam wilayah. Dengan demikian, hubungan yang terjadi adalah hubungan yang harmonis dan saling menguatkan. Adapun menyikapi kenyataan disparitas yang ada, hendaknya dipahami bahwa keduanya sedang berada dalam status tahapan/roda development yang berbeda dan akan terus berputar. Keduanya akan terus memiliki ragam permasalahan sesuai ‘kodratnya’ dan eranya untuk diselesaikan, tetapi juga memiliki success stories. Musuh perkotaan bukanlah perdesaan dan demikian pula sebaiknya. Justru keterikatan erat atas ragam elemen pembangunan desa–kota, seperti keterkaitan fisik, ekonomi, pergerakan penduduk, teknologi, interaksi sosial,delivery pelayanan, politik, administrasi dan organisasi,akan mampu meningkatkan sinergisitas kota–desa. Dengan begitu,kondisi disparitas semakin berkurang dan keduanya mampu menghadapi derasnya arus globalisasi. Keduanya pun berhak dan pantas memiliki harapan untuk lebih maju,berkembang, dan sejahtera.● Z ABIDIN MOCHTARPemerhati Pembangunan Wilayah, Alumnus Program Magister Urban Planning, Dortmund University, Jerman |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar