Hedonis: Pecah Perut |
Saturday, 19 November 2011 | |
Jokowi,wali kota Solo,masih langsing tubuhnya, masih memakai mobil lama yang dipakai ketika menjabat pada periode pertama. Saya pernah semobil dinas dengan beliau ketika menghadiri kondangan warga. Dan berharap tidak mogok—karena pernah dua kali mogok di tengah jalan.Juga tidak terlalu mengkhawatirkan. Karena warga yang mengenali, akan menawarkan untuk mengantar. Saya ikut karena ingin menikmati keroncong dalam hajatan perkawinan. Saya teringat sepotong peristiwa itu ketika para petinggi kita ada yang memiliki seharga Rp12 miliar,dan hanya dipakai berputar-putar di halaman rumah.Gaya hidup hedonisme dikritik dan muncul pembelaan: apa salahnya punya mobil mahal atau rumah mewah? Ada juga pembenaran: itu kan tanda Indonesia makmur. Ngawula Wadhuk Hedonisme, paham yang mengutamakan dan menomorsatunya kesenangan semata sebagai pemenuhan dan kepuasan dalam hidup sudah jauh hari sebelum tahun Masehi dipersoalkan. Juga telah dikenal sebagai istilah yang mulanya netral. Kemudian terkait dengan tata nilai yang tidak benar, egois, mementingkan diri sendiri, pamer kekayaan. Gaya hedonisme ini lalu merambat ke pertanyaan: bagaimana dan dari mana segala kelebihan materi itu diperoleh? Dalam era di mana korupsi sedang hangat dibicarakan asosiasinya pasti ke arah itu.Apalagi sekarang ini tak ada undian nasional yang menghasilkan miliarder instan. Juga tak ada kabar ada miliarder di Indonesia yang menghibahkan harta pada para politisi-politisi yang disebut-sebut bergaya hedonis itu. Wajar kalau muncul pertanyaan kemewahan dari menyalah gunakan jabatan dan tugas. Kecuali kalau para elite politik itu bisa menjelaskan bahwa menemukan harta karun dalam tanah, yang ternyata juga tidak pernah terjadi. Dalam budaya Jawa—daerah lain pasti juga memiliki– orang-orang semacam ini disebutkan sebagai jenis manusia yang ngawula wadhuk. Arti harfiahnya adalah pengabdi perut. Artinya segala cara,segala upaya dilakukan untuk memenuhi perutnya. Tak ada tata nilai lain, tak ada tata krama yang berlaku selain pemenuhan isi perut. Padanya perut buncit adalah gengsi, bukan mementingkan harga diri. Padanya meteri yang utama dan bukan budi pekerti. Isi perut yang bisa berarti rumah super mewah, atau mobil jenis tak dimiliki orang banyak, adalah tanda sukses, tanda keberhasilan, simbol kemenangan. Demikian juga dalam menilai orang lain. Sedemikian dalam tenggelam dalam pengabdian pada perut, sehingga pertanyaan atas sikapnya membuat balik bertanya: “Emangnya kenapa kalau gua begini? Lo aja sirik”. Karena memang menemukan kesalahan atau kekeliruan pada dirinya. Perut lain yang salah. Pecah Perut Tokoh hedonis yang ada dalam legenda, bernama Uthakuthak Ugel,yang digambarkan sedemikian rakusnya, sehingga apa saja dimakan tanpa merasa kenyang. Termasuk makanan orang lain,termasuk memakan hutan dan isinya, atau juga perut bumi, dan lautan seisinya. Cukup visioner juga nenek moyang kita menciptakan tokoh yang memakan hutan— menggunduli, atau juga tanah pertambangan dan isi lautan. Kerakusan yang luar biasa tanpa ada yang mampu mencegah. Keserakahan Uthakuthak Ugel baru terhenti karena perutnya pecah,tak mampu menampung isi yang berhamburan. Dan matilah tokoh utama hedonis ini. Namun, Uthak-uthak Ugel hanya tokoh dalam cerita.Yang tak dikenali lagi oleh Uthakuthak Ugel generasi sekarang. Atau kalaupun dikenali tak mempunyai makna sebagai peringatan, atau pendidikan tertentu, atau ajaran moral. Bahkan bisa menganggap itu cerita khayalan.Tak ada relevansinya, baik secara aktual atau secara tematis. Diperlukan dongeng baru untuk membedah perutnya. Dengan menyidik dari mana harta yang dipongahkan itu. Bagaimana menjelaskan asal usul itu semua. Dan bagaimana mekanisme yang terjadi. Di sinilah media, atau juga pengamat sosial menjadi pencerita yang tak jemu-jemu,dan mempunyai kesadaran dan kesabaran untuk terus mengingatkan hal-hal yang menyangkut nilai moral, termasuk sebab-akibat, dan atau kepekaan sosial. Diperlukan dongeng baru untuk menampilkan dan memperbanyak sosok Jokowi. Bahwa sesungguhnya di negeri ini,ada cara untuk dilihat sakti, bukan dari materi semata. Dengan sederhana, justru ketika memperhatikan perut lain yang kelaparan dan mengisinya, ia menjadi kenyang. Ia menjadi pemenang. Diperlukan dongeng baru untuk menjaga masyarakat untuk tetap waras.● ARSWENDO ATMOWILOTO Budayawan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar