Kamis, 21 Juni 2012

Jangan Anggap Keledai Bodoh


Posted by radhite


Suatu hari keledai milik seorang petani jatuh ke dalam sumur. Hewan itu menangis dengan memilukan selama berjam-jam sementara si petani memikirkan apa yang harus dilakukannya.

Akhirnya, si petani memutuskan bahwa hewan itu sudah tua dan sumur juga perlu ditimbun (ditutup - karena berbahaya), jadi tidak berguna untuk menolong si keledai. Dan ia mengajak tetangga-tetangganya untuk datang membantunya.

Mereka membawa sekop dan mulai menyekop tanah ke dalam sumur. Pada mulanya, ketika si keledai menyadari apa yang sedang terjadi, ia menangis penuh kengerian.

Tetapi kemudian, semua orang takjub, karena si keledai menjadi diam. Setelah beberapa sekop tanah lagi dituangkan ke dalam sumur. Si petani melihat ke dalam sumur dan tercengang karena apa yang dilihatnya.

Walaupun punggungnya terus ditimpa oleh bersekop-sekop tanah dan kotoran, si keledai melakukan sesuatu yang menakjubkan. Ia mengguncang- guncangkan badannya agar tanah yang menimpa punggungnya turun ke bawah, lalu menaiki tanah itu.

Sementara tetangga-tetangga si petani terus menuangkan tanah kotor ke atas punggung hewan itu, si keledai terus juga mengguncangkan badannya dan melangkah naik.

Segera saja, semua orang terpesona ketika si keledai meloncati tepi sumur dan melarikan diri!


Pelajaran Hidup

Kehidupan terus saja menuangkan tanah dan kotoran kepadamu, segala macam tanah dan kotoran.

Cara untuk keluar dari 'sumur' (kesedihan, masalah, dsb) adalah dengan mengguncangkan segala tanah dan kotoran dari diri kita (pikiran dan hati kita) dan melangkah naik dari 'sumur' dengan menggunakan hal-hal tersebut sebagai pijakan.

Setiap masalah kita merupakan satu batu pijakan untuk melangkah. Kita dapat keluar dari 'sumur" yang terdalam dengan terus berjuang, jangan pernah menyerah!


Ingatlah aturan sederhana tentang Kebahagiaan :

1. Bebaskan dirimu dari kebencian

2. Bebaskanlah pikiranmu dari kecemasan.

3. Hiduplah sederhana.

4. Berilah lebih banyak.

5. Berharaplah lebih sedikit.

6. Tersenyumlah.

7. Miliki teman yang bisa membuat engkau tersenyum


Sumber :
supriatno.blogdetik.com

Gunung Es yang Mencair

Penulis : Tim AndrieWongsoJumat, 08 Juni 2012, Dibaca : 4495 kali | Dicetak : 21 kali | Cetak artikel ini




Alkisah, ada sebuah kelas yang pesertanya sebagian besar terdiri dari kaum laki-laki berusia 35 tahunan. Nah hari itu, sang pengajar memberikan sebuah tugas unik. Yaitu, peserta harus menyatakan kasih mereka pada seseorang. Seseorang ini haruslah orang yang tidak pernah menerima kasih dari mereka atau setidaknya orang yang sudah lama sekali tidak menerima kasih dari mereka.

Memang kelihatannya tugasnya tidak terlalu sulit. Tapi ingatlah, rata-rata peserta adalah laki-laki yang berasal dari generasi yang diajarkan bahwa ekspresi perasaan tidak patut dilakukan seorang laki-laki. Jadi bisa dikatakan, bagi sebagian peserta, tugas ini menjadi tantangan tersendiri.

Pada kelas di minggu berikutnya, setiap peserta diberi kesempatan untuk membagi pengalaman mereka dalam menjalankan tugas unik itu. Tak disangka, yang berdiri adalah peserta laki-laki.

Setelah sesaat berdiri dalam diam, akhirnya laki-laki itu berkata, "Awalnya, saya sedikit jengkel karena mendapat tugas aneh seperti ini. Siapa Anda, beraninya menyuruh saya untuk berbuat sesuatu yang sepersonal itu! Tapi saat saya mengendarai mobil menuju rumah, hati nurani saya mulai mengusik. Sebenarnya saya sudah tahu kepada siapa saya harus mengatakan kasih saya. Sekadar cerita saja, lima tahun lalu, ayah saya dan saya sempat berselisih pendapat dan akhirnya bertengkar hebat sampai saat ini. Kami saling menghindari kecuali kondisinya sangat mendesak. Tapi sejak itu, kamu sama sekali tak pernah saling bicara.

Jadilah, pada Selasa minggu lalu, setibanya di rumah saya meyakinkan diri sendiri bahwa saya harus pergi ke ayah saya dan menyampaikan kasih saya padanya. Memang terasa aneh, tapi sekadar membuat keputusan itu saja saya merasa ada beban berat yang terangkat dari pundak saya. Pagi harinya, saya bangun lebih awal dan segera pergi ke kantor. Selama bekerja saya merasa lebih bersemangat, dan tidak menyangka saya bisa menyelesaikan lebih banyak pekerjaan dibanding yang pernah saya kerjakan seharian penuh di hari-hari sebelumnya. Lalu, saya menelepon ayah saya untuk menanyakan apakah saya bisa mampir ke rumah sehabis pulang kantor. Dan seperti biasa, ayah saya menjawabnya dengan suara galak, ‘Mau apa lagi sekarang?' Saya meyakinkan dia bahwa saya hanya sebentar saja di sana.

Karena semua pekerjaan saya hari itu bisa selesai dikerjakan dalam waktu lebih cepat, saya pun bisa keluar kantor lebih awal. Dan saya langsung menuju ke rumah orangtua saya. Sesampainya di sana, saya berharap ibu sayalah yang membukakan pintu. Tapi ternyata saya langsung bertemu muka dengan ayah saya. Tanpa buang-buang waktu lagi, saya segera berkata, ‘Yah, saya hanya mampir untuk bilang aku sayang Ayah.'

Saat itu juga terasa ada perubahan dalam diri Ayah. Ekspresi wajahnya terlihat lebih ramah, kerutan-kerutannya tampak menghilang, dan ia mulai menitikkan air mata. Ia lalu merangkul saya dan balas berkata, ‘Ayah juga sayang kamu, Nak, tapi selama ini sulit mengatakannya.'

Saat itu sungguh menjadi momen yang tak ternilai harganya. Saya dan ayah masih berpelukan beberapa lama, dan setelah itu saya berpamitan. Tapi bukan itu inti cerita saya. Dua hari setelah kunjungan itu, ayah saya yang ternyata punya masalah jantung tapi tidak pernah bilang pada saya, mendapat serangan jantung dan langsung dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan koma. Saya tak tahu apakah ayah saya akan berhasil melalui semua ini. Semoga saja.

Mungkin yang bisa saya sampaikan di sini adalah: 'jangan menunggu untuk melakukan sesuatu yang memang kita tahu perlu kita lakukan'. Bagaimana seandainya saya menunda untuk mengungkap perasaan pada ayah saya? Mungkin saya tidak kan pernah mendapat kesempatan itu lagi! Karenanya, sediakan waktu untuk mengerjakan apa yang perlu kita lakukan dan lakukan sekarang juga!'"

Luar biasa!!

Pertapa Muda dan Kepiting

Penulis : Tim AndrieWongsoJumat, 08 Juni 2012, Dibaca : 3140 kali | Dicetak : 33 kali


Suatu ketika di sore hari yang terasa teduh, nampak seorang pertapa muda sedang bermeditasi di bawah pohon, tidak jauh dari tepi sungai. Saat sedang berkonsentrasi memusatkan pikiran, tiba-tiba perhatian pertapa itu terpecah kala mendengarkan gemericik air yang terdengar tidak beraturan.

Perlahan-lahan, ia kemudian membuka matanya. Pertapa itu segera melihat ke arah tepi sungai di mana sumber suara tadi berasal. Ternyata, di sana nampak seekor kepiting yang sedang berusaha keras mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meraih tepian sungai sehingga tidak hanyut oleh arus sungai yang deras.

Melihat hal itu, sang pertapa merasa kasihan. Karena itu, ia segera mengulurkan tangannya ke arah kepiting untuk membantunya. Melihat tangan terjulur, dengan sigap kepiting menjepit jari si pertapa muda. Meskipun jarinya terluka karena jepitan capit kepiting, tetapi hati pertapa itu puas karena bisa menyelamatkan si kepiting.

Kemudian, dia pun melanjutkan kembali pertapaannya. Belum lama bersila dan mulai memejamkan mata, terdengar lagi bunyi suara yang sama dari arah tepi sungai. Ternyata kepiting tadi mengalami kejadian yang sama. Maka, si pertapa muda kembali mengulurkan tangannya dan membiarkan jarinya dicapit oleh kepiting demi membantunya.

Selesai membantu untuk kali kedua, ternyata kepiting terseret arus lagi. Maka, pertapa itu menolongnya kembali sehingga jari tangannya makin membengkak karena jepitan capit kepiting.

Melihat kejadian itu, ada seorang tua yang kemudian datang menghampiri dan menegur si pertapa muda, "Anak muda, perbuatanmu menolong adalah cerminan hatimu yang baik. Tetapi, mengapa demi menolong seekor kepiting engkau membiarkan capit kepiting melukaimu hingga sobek seperti itu?"

"Paman, seekor kepiting memang menggunakan capitnya untuk memegang benda. Dan saya sedang melatih mengembangkan rasa belas kasih. Maka, saya tidak mempermasalahkan jari tangan ini terluka asalkan bisa menolong nyawa makhluk lain, walaupun itu hanya seekor kepiting," jawab si pertapa muda dengan kepuasan hati karena telah melatih sikap belas kasihnya dengan baik.

Mendengar jawaban si pertapa muda, kemudian orang tua itu memungut sebuah ranting. Ia lantas mengulurkan ranting ke arah kepiting yang terlihat kembali melawan arus sungai. Segera, si kepiting menangkap ranting itu dengan capitnya. " Lihat! Melatih mengembangkan sikap belas kasih memang baik, tetapi harus pula disertai dengan kebijaksanaan. Bila tujuan kita baik, yakni untuk menolong makhluk lain, bukankah tidak harus dengan cara mengorbankan diri sendiri. Ranting pun bisa kita manfaatkan, betul kan?"

Seketika itu, si pemuda tersadar. "Terima kasih, Paman.. Hari ini saya belajar sesuatu. Mengembangkan cinta kasih, juga harus disertai dengan kebijaksanaan. Di kemudian hari, saya akan selalu ingat kebijaksanaan yang Paman ajarkan."

Pembaca yang budiman,

Mempunyai sifat belas kasih, mau memerhatikan dan menolong orang lain adalah perbuatan mulia, entah perhatian itu kita berikan kepada anak kita, orang tua, sanak saudara, teman, atau kepada siapa pun. Tetapi, kalau cara kita salah, seringkali perhatian atau bantuan yang kita berikan bukannya memecahkan masalah, namun justru menjadi bumerang. Kita yang tadinya tidak tahu apa-apa dan hanya sekadar berniat membantu, malah harus menanggung beban dan kerugian yang tidak perlu.

Karena itu, adanya niat dan tindakan berbuat baik, seharusnya diberikan dengan cara yang tepat dan bijak. Dengan begitu, bantuan itu nantinya tidak hanya akan berdampak positif bagi yang dibantu, tetapi sekaligus membahagiakan dan membawa kebaikan pula bagi kita yang membantu.

Salam sukses luar biasa!!

Sepasang Tangan

Penulis : Andrie WongsoRabu, 20 Juni 2012, Dibaca : 1928 kali | Dicetak : 6 kali






Suatu hari, di kelas pada sebuah sekolah dasar, seorang guru memberi tugas kepada murid-muridnya. "Anak-anak, tugas hari ini menggambar bebas. Buatlah gambar atau benda apa saja yang kalian miliki. Misalnya rumah yang kamu tinggali, benda yang kamu sayangi, pemandangan alam yang indah, atau gambar apapun yang kamu inginkan. Bagaimana, sudah jelas kan? Sekarang, keluarkan alat-alat gambar dan segera mulai menggambar."

Maka, anak-anak itu pun dengan gembira mulai mengeluarkan alat-alat gambarnya sambil berceloteh, saling melontarkan pertanyaan dan jawaban tentang benda apa yang akan digambarnya.

Tidak lama kemudian, kelas pun berangsur tenang. Masing-masing anak segera sibuk dengan idenya, yang berusaha dituangkannya ke atas kertas gambar. Saat waktu yang diberikan untuk tugas selesai, sang guru meminta setiap anak, satu persatu, maju ke depan kelas untuk memperlihatkan gambarnya dan menceritakan secara singkat alasan mengapa dia menggambar itu.

Ada berbagai gambar dan alasan yang dikemukakan anak-anak itu. Ada yang menjelaskan tentang gambar mobil, mainan, buah-buahan, pemandangan, dan lain sebagainya. Tiba saat giliran terakhir, seorang anak yang agak pemalu karena kakinya yang timpang ketika berjalan, maju ke depan kelas. Meski kurang sempurna cara berjalannya, dari hasil gambarnya nampak bahwa ia sangat pandai dalam melukis.

Semua perhatian pun mendadak terarah kepada teman tersebut, karena mereka ingin tahu apa yang digambar seorang anak cacat dari keluarga miskin itu. Tak lama, si anak itu memperlihatkan gambarnya. Rupanya, ia menggambar sepasang tangan. Kelas pun akhirnya kembali ramai karena mereka bertanya-tanya mengapa si anak itu menggambar sepasang tangan. Apa maksudnya? Tangan siapa yang digambarnya? Tangannya sendiri atau tangan orang lain? Kenapa tangan yang digambar? Semua anak berusaha menebak gambar tangan siapa yang dilukis oleh temannya itu.

Setelah memperhatikan gambar dengan saksama, ibu guru bertanya lembut, "Nak, tangan siapa yang kamu gambar ini?"

Anak itu menjawab dengan suara pelan tetapi jelas, "Yang satu adalah gambar tangan ibuku, dan satu lagi gambar tangan ibu guru."

"Kenapa kamu tidak menggambar tangan milikmu sendiri?" tanya sang guru lebih lanjut.

"Gambar tangan itu memang bukan tanganku sendiri, Bu. Aku menyayangi dan mensyukuri tangan-tangan itu. Karena, sepasang tangan milik ibukulah yang menuntun, mengajari, dan melayani aku secara tulus sehingga aku bisa tumbuh menjadi seperti saat ini. Dan satu lagi, aku menggambar tangan ibu guru karena ibu gurulah yang mengajariku menulis dan melukis. Walaupun kaki saya timpang, tetapi tangan saya bisa menulis dan membuat lukisan yang indah. Terima kasih, Bu," ucap si anak tulus.

Dengan mata berkaca-kaca, ibu guru menganggukkan kepala, "Terima kasih kembali, kamu memang anak yang mengerti dan pandai bersyukur".



Sahabat yang Bijaksana,

Sungguh luar biasa sikap mental anak yang kakinya timpang, tetapi mampu mengungkapkan rasa terima kasih dan rasa syukur atas jasa orangtua dan gurunya, melalui lukisannya yang sederhana.

Punya kaki timpang bukan berarti harus rendah diri. Cerminan nyata dalam kehidupan seperti itu bisa kita lihat dari fisikawan Steven Hawking. Ia adalah seorang yang cacat, lumpuh, bahkan kalau mau bicara harus menggunakan bantuan alat elektronik. Tetapi, dengan kemauannya yang keras dan semangatnya yang pantang menyerah, dia kini diakui sebagai ilmuwan besar abad ini. Meski cacat, ia mampu menjadi orang yang dihormati karena hasil penelitian dan pemikirannya.

Apa yang dilakukan oleh Steven Hawking adalah gambaran sebuah keberanian sejati. Ia mensyukuri apapun keadaannya dengan tetap berkarya. Hal seperti itulah yang patut kita jadikan teladan. Kita perlu menanamkan sikap mental berani berubah untuk jadi lebih baik, apapun kondisi yang kita hadapi hari ini.

Ayo, bangkit dari segala keterpurukan, ketimpangan, dan kekurangan! Bagi saya, merupakan suatu keberanian sejati jika kita mampu terus mengembangkan diri dan segera memulai dari apa adanya kita hari ini. Jadi, make it happen! Buat itu terjadi! Selalu miliki tekad kuat untuk berubah menjadi lebih baik, dari hari ke hari. Syukuri apapun yang kita miliki, dengan terus memaksimalkan potensi diri. Tingkatkan pula daya juang kehidupan dengan memelihara semangat pantang menyerah! Dengan begitu, hidup kita akan lebih bermanfaat.

Salam sukses, luar biasa!

Berjaga-jagalah

Penulis : Tim AndrieWongsoKamis, 21 Juni 2012, Dibaca : 1086 kali | Dicetak : 3 kali






Alkisah suatu malam udara terasa sangat dingin! Seekor burung pipit sudah melewati dua malam di tempat terbuka dan hanya bisa berlindung di pepohonan yang jarang daunnya. Karena si pipit merasa tidak mampu bertahan di malam ketiga, maka pergilah ia mencari tempat berlindung yang lebih baik.

Tapi saat terbang, tubuhnya semakin kedinginan, hingga sayap-sayap kecilnya terasa membeku dan akhirnya si pipit terjatuh ke permukaan tanah. Begitu terbaring di atas tanah dalam keadaan membeku, si pipit sadar akhir hidupnya sudah kian mendekat. Si pipit berharap kematian cepat menjemputnya.

Namun tiba-tiba, dalam kondisi setengah sadar, ia merasa tubuhnya terbungkus sesuatu yang hangat. Setelah sadar, si pipit baru tahu sesuatu yang menghangatkan tubuhnya itu ternyata berasal dari seekor sapi yang baik hati. Si sapi telah menjatuhkan setumpuk endapan kotoran di seluruh badan si pipit.

Kehangatan endapan itu memberikan napas kehidupan baru bagi si pipit, dan perasaan nyaman itu membuat si pipit merasa sangat bahagia. Karena itu, mulailah si pipit bersenandung. Tanpa disadari, seekor kucing yang sedang lewat mendengar suara siulan si pipit. Dicarilah sumber suara itu yang berasal dari timbunan kotoran. Dengan perlahan, si kucing mengorek-korek timbunan itu hingga menemukan si pipit kecil, lalu memakannya....

Dari kisah di atas, kita bisa mengambil tiga pesan moral yang bisa diterapkan dalam kehidupan kita masing-masing:
1)Jika seseorang menyakiti kita sengaja ataupun tak sengaja, belum tentu mereka itu adalah musuh kita.
2)Jika seseorang berusaha membantu kita, belum tentu juga mereka itu adalah teman kita.
3) Tidak perlu menyatakan rasa bahagia secara berlebihan, karena masih banyak "bahaya" yang mengintai kita.