Senin, 19 Desember 2011

Mesuji dan Pelanggaran HAM


Tuesday, 20 December 2011
Menjelang akhir 2011 ini kita semua digemparkan oleh berita tentang dugaan pembantaian terhadap warga di Kecamatan Mesuji, Sumatera Selatan dan Kabupaten Mesuji, Lampung yang disinyalir dilakukan oleh sebuah perusahaan perkebunan dengan menyewa beberapa preman dan melibatkan oknum polisi.
Memang tragis kalau melihat video dan foto-foto pembantaian yang tersebar luas di internet.Ada unsur kejahatan kemanusiaan yang secara kasatmata mengiris nurani kita. Kok bisa ada sekelompok orang yang tega melakukan pembantaian seperti itu, yang dalam perspektif hukum dan agama tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun? Beberapa hari lalu saya menerima kiriman video dan foto via BlackBerry Messenger (BBM) dari seorang sahabat.Sangat tidak manusiawi. Begitu yang bisa kita katakan jika melihat video dan foto-foto pembantaian yang saat ini juga ramai dibicarakan di media sosial Twitter.

Meskipun dugaan pembantaian tersebut belum mendapatkan kepastian, ini menjadi berita yang perlu diproses melalui investigasi fakta-fakta di lapangan dan harus mendapatkan kepastian hukum.Para korban yang saat ini sedang mengadukan kasus ini ke parlemen memerlukan kepastian.Tentu saja institusi penegak hukum harus mengambil tindakan untuk menindaklanjuti laporan warga karena dugaan pembantaian itu telah melanggar norma- norma hukum yang merugikan hak-hak warga secara material dan moril.

Dalam banyak kasus konflik lahan antara warga dan perusahaan di beberapa daerah selalu tidak ada kepastian penyelesaian karena kurang tegasnya pendekatan hukum yang dilakukan institusi penegak hukum. Kerap kali persoalan diselesaikan dengan sekadar ganti rugi atau transaksi. Jarang ada penyelesaian hukum. Toh kalaupun ada pendekatan hukum, selalu pendekatannya tidak adil untuk membela para korban.

Konflik Lahan

Sebenarnya kita harus melihat konflik lahan antara warga dan perusahaan secara komprehensif. Ada tiga persoalan pokok yang merupakan sumber dari pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan perusahaan kepada masyarakat. Pertama, dalam pengembangan lahan yang dilakukan perusahaan, seringkali terjadi pelanggaran terhadap kepentingan ekonomi masyarakat. Bagi kebanyakan masyarakat di daerah, lahan merupakan sumber ekonomi sekaligus sumber kehidupan.

Persoalannya, pengembangan lahan yang dilakukan perusahaan selalu bertabrakan dengan kepentingan ekonomi masyarakat. Kedua, metode komunikasi yang dilakukan dengan warga kebanyakan bersifat represif, memaksa, kurang dialogis.Pola komunikasi dua arah tidak terbangun sehingga tidak terjalin saling pengertian dan saling sepakat.Malah yang justru timbul kekerasan ketika tidak ada kata deal antara warga dan pemilik modal. Ketiga, penggunaan pihak ketiga oleh pemilik modal untuk menekan masyarakat melalui preman,oknum polisi,dan tentara.

Pelibatan pihak ketiga merupakan cara pemilik modal menghindar dari tekanan masyarakat yang memperjuangkan hak-haknya. Tak ayal, kekerasan dan pembantaian pun terjadi manakala proses negosiasi buntu. Layakkah perusahaan melakukan itu kepada warga? Tentu saja tidak. Sebagai negara hukum, perusahaan memikul tanggung jawab hukum dan tanggung jawab sosial untuk melakukan aktivitas ekonomi dengan menghargai hak-hak masyarakat: hak ekonomi dan hak adat.

Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948,setiap orang atau badan atau institusi, termasuk negara, harus menghargai hak-hak setiap orang, meliputi hak untuk hidup, hak ekonomi, hak sosial budaya, hak pendidikan, hak politik, hak hukum, dan sebagainya. Pembantaian atas nama kepentingan modal jelas merupakan pelanggaran HAM berat. Dalam konteks inilah, sangat tidak dibenarkan dan tidak terpuji tindakan pembantaian warga Mesuji.

Mempertanyakan Peran Negara

Lalu di mana peran negara sehingga pembantaian seperti itu bisa terjadi? Di mana polisi? Di mana tentara? Bukankah tugas negara adalah melindungi masyarakat? Ini yang menjadi pertanyaan kita semua. Bagaimana mungkin negara tidak memainkan perannya untuk melindungi masyarakat.

Dalam kasus seperti ini, negara tentu selalu dipersalahkan karena dianggap absen atau membiarkan pembantaian seperti itu terjadi.Negara tidak hadir untuk menyelesaikan konflik warga dan perusahaan melalui pendekatan hukum. Negara tidak menjalankan fungsi untuk menjembatani proses negosiasi warga dengan pemilik modal dalam konflik lahan. Justru yang terjadi adalah oknum aparatur negara memberikan beking kepada perusahaan. Ini memang ironis.Tapi, itulah kenyataan yang ada.

Warga begitu lemah menghadapi raksasa- raksasa kapitalisme, para pemilik modal,yang justru bersekutu dengan aparatur negara untuk melakukan kejahatan kemanusiaan. Masyarakat menjadi korban dari praktik mafia kapitalisme yang menggunakan tangan oknum aparatur negara untuk menarik keuntungan dari tindakan pemaksaan kepentingan perusahaan. Padahal salah satu tujuan bernegara adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Ini jelas ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945.

Untuk itu,tidak ada pilihan lain kecuali membongkar kasus ini sejelas-jelasnya agar menjadi terang benderang. Jangan ada lagi korban yang tidak mendapatkan keadilan hukum. Dan negara harus mengambil hikmah dan pelajaran agar pembantaian seperti ini tidak lagi terulang karena ini jelas kejahatan HAM berat. Semoga kasus ini cepat selesai dengan pendekatan hukum agar para korban mendapatkan keadilan. ●

IRMAN GUSMAN
Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar