Saturday, 26 November 2011 | |
Mungkin benar apa yang disampaikan banyak orang soal kredibilitas para penegak hukum kita yang memprihatinkan. Sebenarnya kita tidak mau begitu saja percaya dengan ungkapan lama, makin sulit mencari keadilan di Indonesia karena kredibilitas para pengadil yang begitu tipis.
Reformasi hukum sudah berjalan sekian tahun dengan lahirnya lembaga pengawas para hakim seperti Komisi Yudisial (KY).Tidak sedikit pula oknum hakim dan jaksa yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena penyuapan dalam menangani perkara. Untuk kesekian kali pula, lembaga pengawas internal di Mahkamah Agung (MA) maupun Kejaksaan Agung berkomitmen dan berjanji akan lebih ketat lagi mengawasi perilaku hakim dan jaksa melalui mekanisme penegakan etika.
Tujuannya untuk memperbaiki dari dalam perilaku dan moralitas para penegak hukum ini agar tidak mudah tergiur dengan imbalanimbalan materi saat mengadili dan memutus perkara di persidangan. Tapi, kenapa janji dan komitmen pengawasan internal para pengadil itu seakan tidak berjalan dengan baik? Apakah karena ada kesamaan kepentingan antara pengawas dan yang diawasi atau ada unsur lain seperti semangat untuk melindungi korps? Yang jelas, kredibilitas dan moralitas para pengadil kita sangat erat dengan penegakan etika dan moralitas secara internal tadi. Masih adanya oknum hakim dan jaksa yang terseret kasus moralitas dan asusila jelas menunjukkan pengawasan internal yang tidak memadai dan kurang memberi efek jera. Mungkin,sanksi yang dijatuhkan kepada para pelanggar etika itu terlampau ringan atau hanya sebatas upaya untuk meredam tekanan publik yang luar biasa. Sehingga, antara yang memberi sanksi dan yang dijatuhi sanksi sebenarnya hanya berbagi peran saja seperti bersandiwara. Kita tidak akan bisa tahu detil apa sebenarnya yang terjadi di dalam sana, karena pengawasan itu mekanisme internal masing-masing lembaga yang tidak wajib disampaikan secara terbuka kepada khalayak. Kalaupun disampaikan ke publik, itu karena kasusnya sudah diungkap duluan oleh lembaga pengawas eksternal seperti KY yang mendapatkan laporan dari masyarakat. Atau ketika oknum pengadil ini tertangkap basah oleh penegak hukum lain atau masyarakat langsung saat melakukan pelanggaran etika atau tindak pidana. Kepada oknum hakim atau jaksa yang terseret kasus etika dan moralitas, pengawas internal yang berwenang memberi sanksi. Tapi yang terseret pidana, tentu penegak hukum lain yang akan memprosesnya ke pengadilan. Lantas bagaimana cara agar penegakan moral dan etika kepada para pengadil ini bisa efektif? Semua dikembalikan pada janji dan komitmen lembaga yang bersangkutan. Apakah mereka serius atau hanya untuk keperluan sesaat.Jika serius, lembaga pengawas internal hakim dan jaksa itu perlu melibatkan unsur masyarakat di dalamnya. Bisa diambil dari tokoh masyarakat, akademisi atau praktisi hukum yang dianggap kredibel.Kedua, pengawas internal harus menyampaikan perkembangan tentang kasus yang sedang ditangani secara periodik kepada masyarakat.Komisi Etik yang dibentuk KPK saat menangani tuduhan terhadap sejumlah unsur pimpinan KPK bisa menjadi contoh dalam masalah ini. Komite Etik KPK tidak eksklusif karena melibatkan unsur dari luar. Mereka juga memberi update tanpa harus didesak publik tapi atas kesadaran bahwa ini bagian dari kewajiban sebagai penegak hukum.Tanpa itu,masyarakat akan sulit percaya.Janjijanji harus dibuktikan dengan tindakan nyata bukan hanya katakata tanpa makna |
Sabtu, 26 November 2011
TAJUK, Moralitas para Pengadil
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar