Pernahkah Anda menemukan kartu ucapan Idul Fitri dengan gambar ketupat, di luar negeri? Atau jika Anda punya
pengalaman
Idul Fitri di negeri seberang (terutama negeri muslim), adakah hiasan ketupat
yang menghiasi pusat
pertokoan,
seperti halnya di Jakarta?
Unik,
mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan muslim, dan budaya muslim, di
Indonesia. Bukan hanya karena
adanya
ketupat sebagai bagian dari budaya Idul Fitri. Bukan juga karena adanya Islam
yang ibadahnya diinterpretasi
hanya
ada tiga, hingga melahirkan Islam Waktu Telu di Lombok. Tetapi lebih
dikarenakan Islam yang diinterpretasi
sedemikian
rupa hingga melahirkan keanekaragaman budaya muslim di Indonesia.
Hasil
dari masuknya budaya muslim di Indonesia pun tidak terlihat dari
bangunan-bangunan monumental, seperti pada
masa
klasik yang melahirkan candi Borobudur, misalnya. Hal itu bukan disebabkan
miskinnya khasanah budaya Muslim
di
bidang arsitektur. Sedang kita tahu bahwa kota-kota seperti Istanbul, Cordoba,
juga Agra, merupakan ‘museum
terbuka’
yang memamerkan bentuk raya dari arsitektur yang dihasilkan orang-orang Muslim.
Mungkin
hal itu disebabkan karena Islam yang ‘ditangkap’ masyarakat Indonesia tidak
hanya sebatas fisik. Snouck
Hurgronye
pun berpendapat bahwa Islam sangat menguasai batin penganutnya di Indonesia.
Seperti yang terjadi pada
rakyat
Aceh saat dibacakannya Hikayat Perang Sabil sebelum perang.
Walau demikian, tinggalan fisik (material culture) yang
dihasilkan masyarakat muslim di Indonesia juga menjadi keunikan
tersendiri.
Seperti halnya bentuk atap tumpang pada masjid, yang merupakan ciri khas
arsitektur masjid kuno di
Indonesia.
Keunikan
masyarakat Muslim di Indonesia tentu berkaitan dengan sejarah masuknya Islam ke
Indonesia. Sehingga kita
dapat
melihat dalam konteks yang lebih luas: proses, keadaan sosial-masyarakat yang
ada pada saat itu, juga budaya
pembawanya.
Beberapa
Riwayat dan Catatan Sejarah
Ricklefs
(1981),mejelaskan kemungkinan mengenai kontak awal Nusantara dengan penganut
Islam sudah terjadi sejak
awal
perkembangan Islam, yaitu abad ke-7 Masehi. Dikisahkan dalam berita Cina dari
masa Dinasti Tang (618 – 907
Masehi),
tentang para pedagang Arab yang berlabuh di beberapa kota dagang di Indonesia
dalam perjalanannya
menuju
Guangzhou dan kota dagang lain di Cina bagian selatan. Dikabarkan juga hingga
ada yang menetap di pantai
barat
Sumatra.
Catatan
berikutnya berasal dari pengembara Italia bernama Marcopolo pada tahun1292.
Dalam perjalanan pulang dari
Cina,
dikisahkan Marcopolo sempat singgah di salah satu kota Islam di Sumatra. Kota
itu bernama Perlak. Kemungkinan
Perlak
merupakan wilayah dengan tatanan masyarakat muslim tertua di Indonesia (karena
masih sedikitnya bukti untuk
disebut
“kerajaan”).
indonesianmuslim.com
Indikasi
mengenai kerajaan Islam tertua didapat berdasarkan nisan kubur yang ditemukan
di Aceh. Dalam nisan tersebut
tertera
nama Malikus Saleh, lengkap dengan gelarnya: Sultan. Inskripsi pada nisan
tersebut adalah bukti tertua yang
memperlihatkan
corak kekuasaan-politik Islam di Indonesia. Dan angka tahun yang tertera pada
nisan menunjukkan
tahun
696 Hijriah atau sekitar abad ke-13 Masehi.
Namun
nisan tersebut bukan merupakan bukti arkeologi tertua mengenai adanya komunitas
masyarakat muslim di
Indonesia.
Di Leran, Gresik, ditemukan inskripsi pada nisan yang mencantumkan nama Fatimah
binti Maimun. Angka
tahun
pada nisan memperlihatkan tahun wafat pada tahun 475 Hijriah atau sekitar abad
ke-11 Masehi.
Bahkan
pada tahun 2004 ditemukan bangkai kapal dari awal abad ke-10 Masehi, di perairan
Cirebon, Jawa Barat.
Beberapa
macam benda (kemungkinan mata uang) dengan tulisan arab tercatat sebagai salah
satu muatannya. Bisa
jadi
itu adalah bukti awal kontak Indonesia dengan pedagang Muslim.
Dari
temuan nisan Fatimah binti Maimun dan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, didapat
kemungkinan kontak awal Islam
ke
Indonesia berasal dari Gujarat. Karena nisan-nisan dengan bentuk serupa banyak
ditemukan di Gujarat. Selain itu,
terdapat
kesamaan mazhab antara mayoritas muslim di Indonesia dengan di wilayah India,
seperti Malabar , yaitu
mazhab
Syafii.
Akan
tetapi, terdapat pula kemungkinan lain mengenai masuknya Islam ke Indonesia,
selain dari Arab dan India, yaitu
dari
Cina dan Persia. Dalam berita Cina yang ditulis Ma Huan (1413 – 1415 Masehi)
mengenai kota-kota pesisir di Jawa,
disebutkan
tentang adanya orang Tang yang bermukim. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa
Raden Patah
merupakan
keturunan Kertawijaya dari istrinya yang berasal dari Cina (atau Campa?).
Sedangkan mengenai teori Persia
berasal
dari ditemukannya budaya-budaya Persia (Syiah) seperti Tabuk, di beberapa
wilayah Sumatra.
Proses
Islamisasi di Indonesia
Beberapa
contoh di atas memperlihatkan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui proses
yang damai. Tidak ada
riwayat
yang mengisahkan tentang penaklukan wilayah.
Para
pedagang merupakan kontributor terbesar dalam dakwah Islam di Nusantara. Adapun
cara-cara yang mereka
lakukan
adalah membentuk komunitas muslim, yang tentunya menyebar lebih cepat setelah
menikahi penduduk
setempat.
Selain itu kontak intensif yang dilakukan dengan penduduk setempat menyebabkan
terjadinya transfer
pemahaman
akan Islam (nashrul fikroh). Selanjutnya hal tersebut berkembang menjadi
institusi pendidikan seperti
pesantren,
dan juga tarekat.
Bicara
pendidikan, tentu sulit untuk melepaskan peranan kaum sufi sebagai salah satu
golongan pembawa Islam ke
Indonesia.
A. H. Johns (1987) mencatat bahwa sejak Baghdad jatuh ke tangan orang-orang
Mongol pada tahun 1258,
endanesia
kaum
sufi mulai menyebar ke wilayah di luar Timur Tengah, termasuk Asia Tenggara.
Maka berkembanglah beberapa
tarekat
sufi seperti Satariyah dan Naqshabandiyah, bahkan hingga ke kalangan istana.
Kelak
atas jasa para sufi-lah, Islam di Indonesia memainkan peran signifikan di dunia
Muslim. Tercatat nama Hamzah
Fansuri,
tokoh sufi dari Aceh pada abad ke-16 17, sebagai peletak dasar bagi peranan
bahasa Melayu sebagai bahasa
keempat
di dunia Islam, setelah Arab, Persia, dan Turki Utsmani.
Selain
itu, tercatat pula media kesenian sebagai salah satu sarana dakwah. Walau
kesenian Islam bersifat antiikonik
(sebagai
manifestasi ajaran Islam yang menolak berhala), para pembawa Islam
memperhatikan cara berdakwahnya
secara
bijak. Kesenian seperti wayang pun dimodifikasi sebagai sarana dakwah efektif
dalam mengenalkan Islam ke
masyarakat.
Lalu,
secara perlahan komunitas-komunitas kecil tersebut mulai menunjukkan
pengaruhnya di masyarakat. Tidak hanya
di
kalangan para kawula, Islam pun mulai diperhatikan kalangan istana. Beberapa
raja pun kemudian menganut Islam.
Dari
wilayah barat Indonesia seperti Samudra Pasai di Aceh, Demak di Jawa, hingga
wilayah timur Indonesia seperti
kerajaan
Ternate-Tidore di Maluku Utara. Dengan dianutnya Islam oleh kalangan penguasa,
perkembangan Islam di
Indonesia
pun semakin pesat.
Beragam
Warna
Dari
uraian di atas, terlihat bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia merupakan
faktor penting yang menimbulkan
keunikan
budaya muslim di Indonesia. Islam tidak datang melalui penaklukan, seperti di
beberapa wilayah lain. Adapun
yang
terjadi adalah sebuah proses untuk saling memahami: Antara para pembawa Islam
dengan masyarakat Indonesia,
sebelum
akhirnya memutuskan menganut Islam.
Sedangkan
dalam proses saling memahami, memungkinkan budaya pra-Islam yang masih dapat
ditemukan pada masa
Islam. Tetapi tentu saja dengan bentuk yang dimodifikasi
sesuai dengan nilai-nilai Islam. Hingga akhirnya kita mengenal
selamatan,
wayang, juga huruf Arab Pegon (huruf Arab dengan bahasa lokal, seperti Melayu
dan Jawa).
Hal
itu menunjukkan adanya local genius, atau kemampuan bertahannya sebuah budaya
terhadap budaya luar yang
masuk,
yang dimiliki masyarakat Indonesia. Dan itulah yang menjadikannya unik.
Tentu
yang menjadikannya menarik adalah cara masyarakat menghadapi, atau
menginterpretasi, suatu budaya baru
yang
masuk ke dalam lingkungan masyarakatnya. Dalam hal ini, budaya baru itu adalah
Islam, dan lingkungan
masyarakatnya
adalah masyarakat Indonesia. Jadi kurang tepat apa yang dislogankan Jaringan
Islam Liberal beberapa
tahun
silam: “Islam: Warna-warni”. Kalimat yang lebih tepat adalah: “Muslim:
warna-warni
http://endanesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar