Saturday, 26 November 2011 | |
Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia saat ini mempunyai advokat dalam jumlah yang cukup besar, yang berasal dari berbagai pelosok di Indonesia. Jumlah advokat yang sangat besar ini menuntut adanya dewan etika yang dapat mengawasi perilaku dan etika seorang advokat. Advokat merupakan profesi terhormat (officium nobile). Dalam menjalankan profesinya, seorang advokat harus memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian advokat yang berpegang teguh pada kejujuran, kemandirian, kerahasiaan, dan keterbukaan, guna mencegah lahirnya sikapsikap tidak terpuji dan perilaku kurang terhormat. Dalam kode etik advokat Indonesia tahun 2002 dijelaskan bahwa Kode Etik Advokat Indonesia merupakan hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan.Advokat sebagai profesi hukum (officium nobile) dalam menjalankan profesinya harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi kode etik dan sumpah profesi. Namun, bagaimanakah implementasi kode etik advokat dalam praktiknya di Indonesia saat ini? Advokat Indonesia saat ini justru mengalami penurunan kualitas dan moralitas dibandingkan dengan advokat-advokat senior yang dahulu masih aktif dan berjuang pada era Orde Baru dan Orde Lama.Pada saat itu,advokat masih berjuang dengan hati nurani, objektif, dan berpegang pada prinsip-prinsip hukum yang ada. Sekarang advokat banyak yang terlibat dalam korupsi yudisial. Apa yang terjadi dengan kondisi dewan kode etik saat ini? Dewan kode etik yang saat ini ada hanyalah dewan kehormatan advokat yang dimiliki oleh Peradi. Namun melihat konsep wadah tunggal ini,apakah adil apabila seorang advokat yang dianggap melanggar kode etik kemudian diperiksa hanya oleh dewan kehormatan Peradi tanpa adanya pengawasan dalam dewan kehormatan tersebut. Pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh para advokat semakin banyak terjadi, namun pelanggaran-pelanggaran tersebut masih saja dibiarkan oleh dewan kehormatan. Konflik Konflik berkepanjangan antarorganisasi profesi advokat melahirkan persaingan tidak sehat antaradvokat. Mereka hanya mengejar profit semata, tanpa melihat supremasi hukum dan keadilan. Organisasi advokat saat ini lebih mengejar kuantitas dengan melahirkan sebanyak mungkin advokat dari organisasinya tanpa adanya kurikulum berkualitas dan teruji standardisasinya, sehingga output yang dihasilkan pun pantas diragukan. Itulah sebabnya komersialisasi kursus (pelatihan) dan ujian advokat tidak diperbolehkan. Penyelenggaraan kursus (pelatihan) dan ujian advokat tidak boleh dimonopoli, justru penyelenggaraan kursus (pelatihan) dan ujian advokat dilakukan bersamasama negara dan pihak-pihak terkait lainnya yang ditunjuk negara. Melihat kenyataan di atas, sekarang sudah tiba waktunya setelah delapan tahun lebih UU Advokat diundangkan, serta melihat keributan-keributan dan perselisihan yang terus-menerus di tubuh organisasi advokat, maka UU advokat perlu diamendemen. Termasuk mengatur kursus (pelatihan) dan ujian advokat lebih tertib dan teratur disertai pengawasan yang ketat agar tidak terjadi komersialisasi dengan mengikutsertakan negara c.q. Mahkamah Agung RI dan pihak-pihak terkait. Konsep wadah tunggal yang mulai dicetuskan sejak zaman Orde Baru sudah usang dan tidak dapat dipertahankan lagi karena gagal total. Konsep wadah tunggal adalah inisiatif pemerintah Orde Baru yang korporatis dan ingin mengontrol advokat dalam satu organisasi. Fakta menunjukkan paling tidak sekarang ada empat organisasi advokat yang mengakui sebagai wadah tunggal, yaitu Ikadin,AAI, Peradi, dan KAI. Organisasi advokat menjadi tidak fokus pada peningkatan mutu dan kualitas advokat serta pemberantasan korupsi yudisial, karena organisasi advokat yang tidak solid dan ribut terus menerus. Padahal apabila organisasi profesi advokat di Indonesia mempunyai manajemen organisasi berkualitas yang dapat melahirkan advokat-advokat berkualitas dan berbakat, maka hal ini justru akan semakin meningkatkan mutu putusan dan membantu hakim-hakim dalam memutus perkara. Hakim akan lebih mudah mengambil keputusan dalam setiap perkara, apabila dihadapkan dengan advokat-advokat berkualitas dan berbakat dengan mengambil argumen hukum berkualitas yang diberikan oleh advokat tersebut. Pengawasan Langkah yang diperlukan untuk meningkatkan mutu dan pengawasan profesi advokat adalah dengan membentuk Dewan Etika Profesi Advokat Nasional oleh organisasi-organisasi profesi advokat yang ada di Republik Indonesia.Tujuannya untuk melakukan pengawasan perilaku dan penegakan kode etik profesi advokat secara efektif, serta penindakan terhadap advokat yang berasal dari organisasi manapun yang melanggar kode etik profesi advokat. Dewan ini akan melibatkan tokoh masyarakat,budayawan, advokat-advokat senior yang berintegritas, mantan hakim dan jaksa kredibel,serta tokohtokoh dari berbagai organisasi profesi advokat dan anggota dari organisasi penegak hukum. Organisasi-organisasi advokat kelak akan membentuk Komite Etik untuk melakukan fit and proper test terhadap tokoh-tokoh masyarakat, budayawan, advokat, mantan hakim, mantan jaksa, dan tokoh-tokoh lainnya yang mempunyai kredibilitas dan integritas yang layak untuk menjadi anggota Dewan Kode Etik Profesi Advokat. Dengan adanya Dewan Etika Profesi Advokat Nasional ini maka dapat dihindari adanya advokat “kutu loncat”, baik yang terkena teguran, sanksi skorsing (pemecatan sementara), maupun pemecatan seumur hidup, namun masih tetap bisa berpraktik di pengadilan dengan berpindah ke organisasi advokat lain. Putusan-putusan dewan kehormatan organisasi advokat tidak ditindaklanjuti dan dilaksanakan oleh seluruh lembaga peradilan di seluruh Indonesia, seperti pengadilan negeri,pengadilan agama,dan pengadilan tata usaha negara. Hal ini untuk mengikis semangat “esprit de corps”.Advokat harus benar-benar profesional dan tidak menggunakan organisasi sebagai tameng untuk berlindung dari pelanggaran kode etik. Dengan ini,etika profesi advokat akan dapat ditegakkan dan advokat lebih diawasi secara ketat dan tegas. DR FRANS H WINARTA SH, MH Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) |
Sabtu, 26 November 2011
Urgensi Dewan Etika Profesi Advokat Nasional
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar