Tuesday, 14 February 2012
Sesudah bulan Agustus 2012 lulusan sarjana harus mampu menghasilkan jurnal ilmiah yang akan dikonsumsi oleh publik.Hal ini sesuai dengan surat edaran Direktur Jenderal (Dirjen) Dikti ke perguruan tinggi negeri (PTN).Isi surat itu tentang syarat lulus bagi mahasiswa S-1,S- 2, dan S-3 untuk memublikasikan jurnal ilmiahnya.
Alasannya, jumlah jurnal ilmiah perguruan tinggi di Indonesia yang masih sangat rendah, sepertujuh dari jumlah jurnal ilmiah di Malaysia. Apakah kebijakan Dikti bisa menjadi solusi jurnal ilmiah Indonesia? Tentu tidak.Dikti hanya menyelesaikan permukaannya saja,Dikti tidak melirik ke akar masalahnya. Pertanyaannya selama ini sudah berapa banyak makalah yang dihasilkan pengajar?
Sudah berapa banyak yang menjadi referensi untuk jurnal orang lain? Baru sedikit pengajar Indonesia yang makalah ilmiahnya menjadi referensi bagi jurnal orang lain. Nah,mungkinkah para mahasiswa bisa menulis sesuatu yang berkualitas jika para pengajarnya baru menghasilkan sedikit jurnal ilmiah? Bukankah untuk jurnal ilmiah ini mahasiswa butuh referensi juga?
Mahasiswa butuh berguru kepada guru-gurunya. Bagaimana mungkin seorang mahasiswa berguru dengan pengajar yang belum menghasilkan jurnal ilmiah yang berkualitas, bahkan mungkin belum pernah menulis jurnal ilmiah. Kebijakan Dikti ini sungguh membebani mahasiswa, Dikti lebih memikirkan kuantitas jurnal ilmiah ketimbang kualitasnya. Jangan jauh-jauh dulu, untuk mengikuti Pekan Jurnal Ilmiah (PKM) yang diadakan Dikti saja, masih sedikit mahasiswa yang mampu atau sanggup ikut.
Padahal, PKM yang diadakan Dikti merupakan kerja berkelompok, mahasiswa masih kelimpungan mencari ide,pembimbing,dan lain-lain.Apalagi membuat jurnal sendiri yang tentunya akan membuat mahasiswa semakin bingung, terutama mahasiswa S-1. Mahasiswa sudah dipersulit dengan biaya masuk yang mahal ke universitas, sekarang untuk keluar universitas pun dipersulit dengan kebijakan baru Dikti.
MIMI SILVIA
Mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Indonesia.
Sesudah bulan Agustus 2012 lulusan sarjana harus mampu menghasilkan jurnal ilmiah yang akan dikonsumsi oleh publik.Hal ini sesuai dengan surat edaran Direktur Jenderal (Dirjen) Dikti ke perguruan tinggi negeri (PTN).Isi surat itu tentang syarat lulus bagi mahasiswa S-1,S- 2, dan S-3 untuk memublikasikan jurnal ilmiahnya.
Alasannya, jumlah jurnal ilmiah perguruan tinggi di Indonesia yang masih sangat rendah, sepertujuh dari jumlah jurnal ilmiah di Malaysia. Apakah kebijakan Dikti bisa menjadi solusi jurnal ilmiah Indonesia? Tentu tidak.Dikti hanya menyelesaikan permukaannya saja,Dikti tidak melirik ke akar masalahnya. Pertanyaannya selama ini sudah berapa banyak makalah yang dihasilkan pengajar?
Sudah berapa banyak yang menjadi referensi untuk jurnal orang lain? Baru sedikit pengajar Indonesia yang makalah ilmiahnya menjadi referensi bagi jurnal orang lain. Nah,mungkinkah para mahasiswa bisa menulis sesuatu yang berkualitas jika para pengajarnya baru menghasilkan sedikit jurnal ilmiah? Bukankah untuk jurnal ilmiah ini mahasiswa butuh referensi juga?
Mahasiswa butuh berguru kepada guru-gurunya. Bagaimana mungkin seorang mahasiswa berguru dengan pengajar yang belum menghasilkan jurnal ilmiah yang berkualitas, bahkan mungkin belum pernah menulis jurnal ilmiah. Kebijakan Dikti ini sungguh membebani mahasiswa, Dikti lebih memikirkan kuantitas jurnal ilmiah ketimbang kualitasnya. Jangan jauh-jauh dulu, untuk mengikuti Pekan Jurnal Ilmiah (PKM) yang diadakan Dikti saja, masih sedikit mahasiswa yang mampu atau sanggup ikut.
Padahal, PKM yang diadakan Dikti merupakan kerja berkelompok, mahasiswa masih kelimpungan mencari ide,pembimbing,dan lain-lain.Apalagi membuat jurnal sendiri yang tentunya akan membuat mahasiswa semakin bingung, terutama mahasiswa S-1. Mahasiswa sudah dipersulit dengan biaya masuk yang mahal ke universitas, sekarang untuk keluar universitas pun dipersulit dengan kebijakan baru Dikti.
MIMI SILVIA
Mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar