Senin, 13 Februari 2012

Tarif Dasar Listrik Naik Lagi?





Tuesday, 14 February 2012
Tidak terasa beberapa pekan lagi pemerintah berencana menaikkan (lagi) tarif dasar listrik (TDL) sebesar 10% . Ini kenaikan pertama sejak kenaikan TDL berkala dibekukan pemerintahan Megawati pada ujung tahun 2003.


Dalam kurun waktu 2003-2011,biaya produksi PLN telah naik 2,8 kali lipat, sementara tarif rata-rata hanya naik 0,25 kali.Selama “puasa “ kenaikan TDL 8 tahun itu telah menyebabkan separuh pendapatan PLN harus ditambal dari subsidi. Pada 2011 realisasinya diperkirakan mencapai Rp93,4 triliun.

Kenaikan TDL 10% hanya akan menambah pendapatan PLN sebesar Rp9 triliun, amat kecil bila dibandingkan dengan biaya usaha PLN tahun 2012 yang diperkirakan mencapai Rp191 triliun.Juga masih terasa kecil bila dibandingkan dengan kebutuhan dana investasi PLN yang besarnya pada 2012 akan mencapai Rp68 triliun. Jadi jangan berharap kenaikan TDL akan memberi dampak meningkatnya pelayanan PLN karena tidak akan mengubah besaran investasi PLN secara drastis.

Lebih lagi kenaikan TDL initerjadisaatketeganganiklim politik sedang meningkat, sehingga besar kemungkinan adanya embusan angin politik yang berimbas pada meningkatnya sorotan terhadap kinerja PLN. PLN kerap menyatakan bahwa kenaikan TDL adalah urusan pemerintah. PLN tentu saja lebih suka penyesuaian tarif berkala dibandingkan dengan penerapan subsidi.

Alasannya sederhana, subsidi besar menyebabkan intervensi politik yang besar pula.Intervensi inilah yang selama ini menyebabkan manajemen kehilangan independensi dalam banyak pengambilan keputusan.Selain itu, kenaikan berkala lebih memberikan keyakinan bahwa PLN akan mampu memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap mitra swastanya. Sebenarnya PLN tidak bisa tenang-tenang menghadapi situasi seperti ini. Sudah berulang kali terjadi, kenaikan TDL justru membawa dampak buruk bagi PLN.

Dalam situasi di mana subsidi sudah demikian besar, alih-alih “ngalap berkah” dari kenaikan TDL,ujungujungnya PLN justru dikuliti oleh masyarakat, segala sumpah serapah bahkan sampai tuntutan hukum. “Ketenangan” PLN menghadapi kenaikan TDL ini cukup mengkhawatirkan,karena bisa jadi merupakan suatu bentuk apatisme atas segala hirukpikuk politik.

Hal ini menjadi berbahaya karena PLN yang apatis tidak akan mampu mengikuti dinamika masyarakat. Akibatnya selalu akan ada cukup alasan untuk menerjunkan orang luar PLN sebagai pemimpin PLN. Tidak berarti kursi pemimpin PLN hanya untuk orang PLN, tapi kalau PLN hanya digunakan untuk batu loncatan yang menghasilkan promosi bagi si orang luar dan meninggalkan PLN yang terjerumusmakindalam, tentu ini akan merupakan kerugian besar bagi bangsa ini.

Membenahi Kelistrikan Nasional

Lha, kalau konsumen dan PLN pun tidak diuntungkan oleh kenaikan TDL,terus bagaimana membenahi kelistrikan nasional? Kunci perbaikan kelistrikan nasional terletak pada dua hal pokok. Pertama, penurunan biaya produksi. Kedua, meningkatkan kapasitas produksi listrik untuk kepentingan produktif. Sebagai gambaran,dari total Rp148 triliun biaya operasi PLN tahun 2010, Rp84 triliun (hampir 60%) diperuntukkan bagi pembelian BBM.

Jumlah ini melonjak sangat tinggi bila dibandingkan biaya operasi tahun 2004 sebesar Rp60 triliun, di mana biaya bahan bakar hanya Rp25 triliun (42%). Bila biayabiaya itu dihitung dalam satuan kwh, biaya bahan bakar tahun 2010 sebesar Rp549 rupiah/kwh atau hampir 75% dari TDL yang mencapai 700 rupiah/kwh. Karenanya agak mengherankan ketika tahun 2010 lalu Menteri ESDM meminta agar PLN menurunkan biaya operasi.

Akan lebih tepat kiranya kalau yang terjadi justru sebaliknya, manajemenPLNyang mohon bantuan kepada Menteri ESDM agar dapat menurunkan biaya bahan bakarnya. Dari data keuangan PLN terlihat bahwa dari 2004-2010 biaya produksi PLN naik 2,5 kali. Komponen kenaikan biaya yang terbesar adalah biaya BBM dan pelumas yang naik 3,4 kali lipat. Biaya ini adalah biaya yang nyaris tak dapat dikendalikan mana-jemen (uncontrollable cost), karena harganya yang ditetapkan pemerintah.

Selain faktor kenaikan harga BBM yang dibeli PLN dari Pertamina,kenaikan biaya ini juga dipicu oleh upaya jangka pendek mengatasi krisis listrik denganmenggunakan diesel sewa yang terjadi dalam dua tahun terakhir.Padahal krisis ini terjadi karena keterlambatan pembangunan pembangkit-pembangkit berbahan bakar non-BBM. Ironisnya pemerintah lebih cepat (baca: mudah) dipaksa menambah subsidi daripada menambah anggaran investasi.

Para praktisi menyatakan bahwa sekurangnya dibutuhkan waktu 3-4 tahun untuk menyiapkan pinjaman pemerintah guna membangun PLTU 2X100 MW. Ironisnya, untuk menentukan subsidi sebesar Rp50 triliun per tahun, hanya dibutuhkan rapat beberapa bulan.Padahal, subsidi sebesar itu cukup untuk membangun 4.000 MW PLTU kualitas terbaik! Biaya-biaya yang dapat dikendalikan manajemen kenaikannya relatif lebih kecil, yaitu biaya administrasi (1,49 kali), biaya pemeliharaan (1,9 kali) dan biaya pegawai (2,31 kali ).

Ini menunjukkan bahwa manajemen telah berusaha keras mengimbangi gejolak biaya uncontrollable dengan pengendalian biaya yang controllable. Hal yang menarik adalah biaya penyusutan, yang kenaikannya terendah (1,32 kali). Padahal penyusutan adalah biaya tidak riil yang secara sah boleh dialokasikan serta merupakan sumber pendanaan bagi PLN untuk menjaga kemampuan mesin-mesin produksinya.

Kenaikan 30% biaya penyusutan ini tidak cukup untuk memelihara penuaan mesin, pertambahan kapasitas sebesar 30% dan inflasi 8 tahun terakhir sekaligus. Bila rendahnya kenaikan biaya pemeliharaan dan biaya penyusutan itu dilakukan dengan sengaja dan berkelebihan oleh manajemen, maka akan timbul risiko jangka menengah/ panjang, yaitu turunnya keandalan mesin-mesin pembangkit listrik PLN yang akhirnya merugikan konsumen juga. Boleh jadi tanpa sengaja manajemen PLN telah mulai mengorbankan masa depannya untuk meredam dampak biaya yang tidak dapat dikendalikan olehnya.

Masalah Bauran Energi

Bauran jenis energi primer yang dipakai memang merupakan problem klasik PLN yang sampai saat ini belum mampu diatasi. Problem ini muncul karena jenis bahan bakar tertentu membutuhkan jenis pembangkit tertentu pula. Hanya beberapa jenis pembangkit yang mampu membakar lebih dari satu macam bahan bakar (dual fired), misal PLTG mampu membakar minyak atau gas.PLTG tidak bisa membakar batu bara dan biaya mengonversi batu bara menjadi gas atau minyak cukup mahal pada saat ini,dan belum ekonomis untuk dipertimbangkan dalam skala besar.

Disparitas biaya bahan bakar dalam produksi listrik amat besar, sebagai contoh PLTGU dual fired—gas dan BBM—bila membakar gas maka biaya bahan bakar dalam setiap kwh produksi adalah Rp500/kwh, tetapi bila membakar HSD (solar), biaya itu mencapai Rp1.700an/kwh. Kalikan jumlah itu dengan 40 miliar kwh produksi tahunan PLTGU, maka selisih membakar BBM dengan membakar gas sudah mencapai Rp48 triliun/tahun.

Biaya batu bara dalam membangkitkan 1 kwh dengan mesin PLTU mencapai Rp430 rupiah, dan bila terjadi hambatan produksi PLTU,sehingga produksinya diganti dengan produksi PLTD sewa, maka biaya bahan bakarnya dapat mencapai Rp2.000/kwh.Karena pelbagai hal, saat ini PLN menyewa PLTD untuk mengatasi krisis listrik akibat keterlambatan proyek-proyek dan percepatan proses penyambungan (program GRASS– Gerakan Sejuta Sambungan Sehari).

Produksi PLN pada 2012 akan mencapai 12 miliar kwh, atau berarti loss of opportunity sebesarhampir Rp19 triliunsetahun. Angka-angka di atas menunjukkan dampak yang dahsyat dari keterlambatan konversi BBM ke batu bara atau kehilangan alokasi gas.Kedua hal tersebut merupakan masalah utama PLN terkait dengan upaya penurunan biaya pokok produksinya (BPP),yang perlu bantuan pemerintah mengatasinya.

EDDIE WIDIONO SUWONDHO
Mantan Dirut PLN dan
Anggota Dewan Energi Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar