Jumat, 27 Januari 2012

SABINA




Sunday, 22 January 2012
TELENTANG di atas permukaan aspal dengan kepala berlumuran darah pada tengah malam itu, Sanib mengenang suatu malam pertemuannya dengan Sabina di kafe sebuah hotel di kawasan pinggiran kota.


Wanita itu tampak lebih cantik waktu itu.Kecantikan yang tidak mungkin dia miliki karena wanita itu sudah bersuami. ”Ada kabar terbaru apa malam ini?” tanyanya kepada wanita itu yang sedang mengaduk- aduk jus lemon di hadapannya. ”Dia sedang menangani tender proyek pembangunan jembatan di Kalimantan. Cukup besar. Banyak pemain. Banyak di antara mereka kalangan pejabat setempat.

Bahkan kabarnya ada juga jenderal berbintang empat dari Jakarta. Harus pintar bagi-bagi roti,” jawab wanita itu,lalu dia mengambil iPad, menyalakan dan mulai menggeser-geserkan tangannya di layar perangkat elektronik canggih itu. ”Aku akan berikan daftar para pemain tender itu. Kau bisa telusuri dari sana. Tapi ingat, seperti biasa, jangan sebut- sebut namaku sebagai informanmu,”lanjutnya. ”Oke.

Seperti biasa. Kita akan bermain cantik dan aman.” Sanib menjawab, ”kapan kita bisa ...ehm...”Dia malu untuk meneruskan ucapannya. Terlalu lancang, pikirnya. Wanita itu memang sudah sering membantunya dalam menyediakan data-data tentang pembongkaran skandal korupsi beberapa politisi dalam liputannya. Partai tempatnya bekerja memang sering kali terlibat dalam tender-tender besar.

Tapi hanya itu. Sekadar hubungan profesional bawah tanah, antara pemburu berita dan informan. Dia tidak ingin terlibat lebih jauh. Meskipun sejujurnya, dia menginginkan yang lebih. Sudah bukan rahasia jika banyak orang yang terangterangan mendekati Sabina, sosok wanita muda yang potensial untuk menduduki posisi tinggi di partainya, meskipun semua orang juga tahu bahwa dia sudah bersuami, dan posisi suaminya juga tidak mainmain.

Dia juga termasuk wanita supel dan berpikiran terbuka, bisa dekat dengan siapa saja dalam batas-batas tertentu. Batas yang hanya dia sendirilah yang menentukannya. ”Kapan kita bisa ...ehm ...jalan semalam dan melupakan semua urusan politik sampah ini, dan hanya membicarakan tentang ... kita,” akhirnya dia berkata. ”Jangan bermimpi.Aku sudah bersuami. Lagipula, jika ada orang yang melihat kita berdua, mereka akan tahu dengan segera bahwa semua sumber berita sensasionalmu itu adalah aku.

Itu bisa membahayakan kita berdua,” jawab Sabina. ”Kita bisa bertemu di tempat yang jauh dari Ibu Kota.Di pedesaan terpencil,mungkin,” Sanib menawar. Wanita itu menerawang ke arah sesuatu di belakang kepala lawan bicaranya, seraya tangannya tak henti mengaduk gelas di hadapannya. Malam itu sepi, hanya ada beberapa pelanggan kafe yang semuanya masih muda, bukan tipe orang politik ataupun aktivis yang bisa jadi sedang mencuri dengar pembicaraan mereka.

”Oke, aku harus pergi sekarang. Suamiku pasti sudah menunggu di rumah. Besok pagi aku juga harus mengantar anakku ke dokter gigi.Selamat malam.” Wanita itu pun bangkit dan melangkah pergi. Ada kilasan ganjil saat Sanib memandangi kelepak ujung jas wanita itu seiring langkahnya.Ujung jas itu berkelepak lambat, seperti efek slow motion dalam sebuah film, menciptakan kesan dalam pikirannya bahwa itu adalah pertemuannya yang terakhir dengan wanita itu.

Firasat? Tentu bukan, karena toh esok harinya wanita itu masih bisa menjumpainya di tempat biasa, menyerahkan salinan data rincian anggaran tentang proyek jembatan yang diambil dari berkas kantornya. ”Jadi kapan kita bisa ...ehm ... hanya satu malam, mungkin.” Dia mengulangi lagi tawarannya, berharap jawaban. ”Sudah kubilang jangan bermimpi.

Kau memang pria yang lumayan menarik.Itulah makanya aku senang bekerja samadenganmu. Seandainya saja kita bertemu lebih awal, mungkin aku akan mempertimbang kan tawaranmu, dan mungkin aku bersedia menjadi istrimu. ”LagilagiSabinamengatakansesuatu yangmembuatSanibtidakingin berhenti berharap. Seulas senyum tipis dan nakal tergurat di bibirSabina.

Bibiryangselaludiharapkan oleh Sanib menjadi tempat pendaratan bibirnya, meski hanya untuk sekejap, meski kejap itu tidak kunjung datang juga. Malam berikutnya di kafe yang sama Sabina tampak gugup. Dia datang terlambat belasan menit dari waktu yang dijanjikan. ”Maaf. Aku tidak bisa berlama- lama.Aku tidak bisa menemuimu beberapa hari ke depan sampai situasinya cukup aman.

Bos besar mulai mencurigaiku,” ujarnya gugup seraya melirik ke kiri dan ke kanan, seolah-olah sedang mencari seseorang. ”Bahkan untuk seseruput jus lemon? Aku sudah memesankan minuman kesukaanmu.” Sanib menanggapi, berusaha menenangkan suasana, ”duduklah. Ceritakan ada masalah apa sebenarnya.” ”Beberapa hari ini aku merasaadayangmenguntitku. Aku curiga mereka adalah orangorang suruhan bos besar untuk mengawasiku.

Kemarin anakku cerita, dia diajak bicara oleh seorang pria yang asing, dia bertanya-tanya tentangku.Aku harus lebih berhati-hati. Aku tidak mau anakku kenapakenapa nantinya.Akan aku kabarilagikalauadaperkembangannya lebih lanjut,entah kapan. Bye...”Sabina bergegas pergi. ”Tunggu sebentar ...” Sanib tidak melanjutkan kalimatnya karena itu sia-sia. Wanita itu keluar kafe dengan tergesa-gesa,tanpa menoleh ke belakang. Ingin sekali dia mengejarnya, tetapi dia urungkan.

Mungkin hal itu justru akan membahayakannya.Betapa dia menyesali diri kenapa tidak bisa melindungi wanita itu. *** ”Terima kasih untuk malam ini. Ini sudah cukup.Aku tidak akan memintanya untuk kedua kali, kecuali kaulah yang memaksaku,” ujar Sanib puas. ”Dan aku akan memaksamu. Kau tidak boleh menolak,” ujar wanita yang berbaring di sebelahnya sambil memeluk dadanya yang telanjang, mendongak lalu tersenyum nakal.

”Apa yang kucari dari seorang pria di tempat tidur, ternyata aku menemukannya padamu. Terima kasih telah memperlakukanku dengan lembut. Tidak seperti suamiku.” ”Sekarang, apakah aku sudah boleh bermimpi?” ”Kau tidak perlu bermimpi. Aku sudah ada di sebelahmu kini. Kau tinggal mengeratkan pelukanmu sekarang,maka aku akan hadir di atas tubuhmu.”

Sanib dan Sabina kembali berpelukan erat, malam itu, di sebuah penginapan terpencil di luar kota, keduanya akhirnya berjanji untuk bertemu dan menghabiskan satu malam tanpa urusan pekerjaan, sekaligus sebagai perayaan kecil atas ditahannya bos besar karena kasus korupsi yang melilitnya. ”Ya, untuk saat ini dia memang tidak bisa berbuat banyak karena dia sudah berada dalam tahanan kepolisian.

Tapi orang-orang dekatnyalah yang harus kita waspadai,” kata Sabina seusai turun dari puncak padakali keduanya, diikuti embusan napas berat akibat kelelahan. ”Jangan khawatir.Malam ini kita aman,setidaknya.Ada aku. Dan kita berada jauh dari semua hiruk-pikuk kasus itu,”kata Sanib menenangkan, seraya beranjak ke kamar mandi. ”Bagaimana dengan suamimu?”Sanib berhenti di depan pintu kamar mandi dan berbalik. ”Jangan khawatir.

Dia terlalu sibuk untuk menanyakan tentang istrinya yang menginap beberapa malam di luar kota untuk pekerjaan kantor. Lagi pula dia sudah maklum.” ”Anakmu?” ”Kami memutuskan untuk mempekerjakan sopir yang mengantar-jemput. Itulah makanya aku luangkan waktu untuk satu malam denganmu saat ini ...dan aku jatuh cinta.”

Mendengar itu Sanib melangkah kembali mendekati Sabina yang masih berbaring di tempat tidur dengan selimut putih tebal yang membungkus tubuh telanjangnya sampai ke dada. ”Boleh aku mendengarnya lagi?”Sanib membungkukkan badan, kepalanya dia miringkan sehingga telinganya tepat di depan mulut Sabina.

*** Mengingat-ingat apa yang dibisikkan oleh Sabina malam itu membuat Sanib tersenyumsenyum kecil saat melajukan sepeda motornya menikung di belokan terakhir menuju ke kafe tempat mereka biasanya bertemu. Malam itu kembali mereka akan bertemu.Wanita itu sudah menghubunginya sebelumnya bahwa ada perkembangan dan bukti penting menyangkut kasus yang sedang dia kerjakan liputannya.

Dia sempat harus menghindari lubang cukup besar berisi air sisa hujan sebelumnya. Lubang yang selalu harus dia hindari saat melewat tikungan itu. Dalam hati dia mengutuk dinas berwenang yang bertanggung jawab atas perbaikan jalan raya. Dia bertekad, setelah liputan kasus korupsi yang sedang dikerjakannya usai, dia akan menulis liputan tentang perbaikan fasilitas publik, terutama jalan raya, dia mengendus aroma penyelewengan. Sewaktu memarkir motornya di tempat parkir kafe, dia melihat tiga mobil warna hitam yang terparkir.Tumben, pikirnya.

Dia pun melangkah masuk dan berpapasan dengan dua orang berbadan kekar dan berkacamata hitam yang kemudian masuk ke dalam salah satu mobil hitam.Dia duduk di meja biasanya,di pojok belakang. Dua jam kemudian dia masih duduk sendirian.Malam telah semakin larut. Jus lemon yang sengaja dipesannya untuk Sabina diminumnya sendiri. Dia mengeluarkan telepon genggamnya dan menghubungi nomor wanita itu. Nomor Sabina tidak bisa dihubungi.

Dia mulai gelisah. Dia melirik ke sekitar, memindai semua pengunjung kafe. Dua orang pria berbadan tegap duduk beberapa meja jauh darinya, terasa baginya sedang mengawasinya. Asap rokok keduanya tebal mengaburkan pandangan mata mereka sehingga tidak tampak jelas baginya. Salah seorang dari mereka bangkit dan kemudian menghampirinya. ”Menunggu seseorang?”tanyanya pria itu,suaranya berat dan mengancam. Sanib mengangguk tenang. ”Rokok?”tawar pria itu.

Sanib menggeleng.”Terima kasih.” ”Percayalah. Wanita memang begitu. Mudah mengingkari janji dan hanya memikirkan diri sendiri,” ujarnya seraya mengepulkan asal rokoknya ke atas. Sanib tersenyum tipis, menganggap bahwa pria itu pastinya asal bicara dan tidak benar-benar tahu bahwa seseorang yang ditunggunya adalah seorang wanita. ”Kalau saya boleh kasih saran, tinggalkan wanita itu.

Kalau tidak, Anda akan tahu akibatnya.” Pria itu kembali berujar,nadanya mengancam. Sanib terhenyak dan langsung memanggil pelayan kafe, bermaksud membayar pesanan. ”Wanita yang tidak bisa menepati janjinya tidak layak untuk ditunggu, Bung!” Pria itu menyelesaikan ucapannya seraya bangkit dan kembali ke mejanya sendiri dan tertawa-tawa dengan temannya. Sanib bergegas keluar dari kafe itu setelah membayar pesanannya.

Sewaktu menyalakan sepeda motornya, dia melihat dua pria tegap tadi juga keluar dan langsung masuk ke dalam mobil mereka. Naluri jurnalisnya membuatnya menandai merek mobil itu dan nomor pelatnya. Tanpa menunggu lama dia pun menjalankan sepeda motornya dan melaju ke arah dia datang sebelumnya. Dari kaca spion dia melihat mobil itu mengikutinya. Dia tancap gas.

Seperti seseorang yang sudah mengintai cukup lama untuk menghadang dan mengagetkan sasarannya,lubang di tikungan itu muncul dengan tibatiba di hadapan Sanib.Karena kurang konsentrasi dan gugup, Sanib tidak sempat menghindar. Dia terperosok,dan karena laju sepeda motornya cukup kencang daripada biasanya,dia pun kehilangan kendali dan jatuh, tubuhnya terlontar dan menghantam tiang listrik di dekat tikungan itu. Mobil di belakangnya ikut berhenti.

Dua pria tegap tadi turun dan menghampiri tubuh Sanib yang telentang berlumuran darah dan tidak berdaya. ”Hem... takdir sudah membantu kita untuk menghabisinya. Sebaiknya kita jangan sentuh apa-apa,” ujar salah satu pria,kemudian keduanya kembali masuk ke dalam mobil dan menghilang. Telepon genggam di saku Sanib bergetar. Dengan sisasisa tenaga dia mengambilnya, dengan pandangan mata kabur, dia membaca nama si penelepon. Sabina. Dia menekan tombol ‘jawab’.

”Halo, kau di sana? Maaf aku tidak datang malam ini. Suamiku sudah tahu semuanya. Dia kalap.Dia hampir saja menghajarku dan anakku. Sekarang aku sedang menuju ke rumah Ibu untuk menitipkan anakku. Oh ya, berhati-hatilah, suamiku telah menyuruh centeng-centengnya untuk mencari dan menghabisimu. Bye.”Sabina mencerocos tanpa jeda. Sanib ingin bersuara, tetapi ternyata tidak mampu. Setelah Sabina menutup teleponnya, lengan Sanib terkulai ke samping. Dan dalam pandangan mata Sanib, tengah malam itu semuanya menjadi lebih gelap daripada sebelumnya.

ADI TOHA,
lahir di Pekalongan,
22 September 1982.
Novelnya berjudul Valharald.
Buku kumpulan cerpennya berjudul Kalarupa.
Kini bekerja sebagai editor fiksi di Penerbit Serambi,
tinggal di Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar