Bob Widyahartono, MA.(BW/P003)
 Hubungan perdagangan Jepang dengan China dalam lima tahun terakhir bahkan telah mengambil alih peranan Amerika Serikat (AS) dalam hubungan dengan China.

Oleh Bob Widyahartono MA *)

Jakarta (ANTARA News) - Jepang dan China sejak awal abad 21 tampaknya berebut pengaruh sebagai "pemimpin" di Asia Timur termasuk ASEAN. Di balik persaingan tersebut perekonomian Jepang-China terkait erat dan saling membutuhkan dengan peranan  konstruktif meningkatkan perdamaian dan kesejhateraan Asia Timur, termasuk ASEAN. 

Kedua negara tersebut sangat menyadari bahwa mulai awal abad 21 menjadi makin jelas dan transparannya peta geopolitik ekonomi Asia, terutama Asia Timur, yang menuntut Jepang dan Cina untuk bersama mengambil kepemimpinan pertumbuhan ekonomi intra-Asia, dalam arti pemeran mesin pertumbuhan (engine of growth) kegiatan ekonomi intra-regional Asia .

Diplomasi politik dan ekonomi antar-keduanya menunjukkan upaya yang rumit karena secara tidak langsung berimbas terhadap hubungan dengan negara lain di Asia.

Pihak Jepang menyatakan bahwa persahabatan adalah penting, namun hanya dengan persahabatan saja tidaklah mencukupi. Relasi yang saling memberi makna didasarkan terhadap kepentingan bersama (mutual benefits) merupakan hubungan yang merekatkan hubungan satu sama lainnya.

Hubungan perdagangan Jepang dengan China dalam lima tahun terakhir telah dua kali lipat, dan bahkan telah mengambil alih (overtake) peranan Amerika Serikat (AS) dalam hubungan dengan China. Sekira 35.000 perusahaan dari yang skala menengah sampai besar telah memasuki pasaran China. Investasi Jepang membuka peluang 10 juta lapangan kerja di China. Sejak Shintaro Abe, Perdana Jepang, ia menyatakan bahwa hubungan ekonomi Jepang dan China telah mantap (firmly cemented

Dari luar benua Asia sudah lama juga Jepang acapkali harus mengalah pada AS dalam politik dan keamanan. Tidak cukup tekanan politik keamanan, tetapi ada pula tekanan impor berbagai produk Jepang. Jepang mengagumkan untuk tidak mengalah terus menerus.

Masa depan jangka panjang prospek ekonomi China tentunya tidak tanpa resiko. Sukses atau kegagalan dalam meningkatkan produktivitas pertanian dan reformasi perusahaan negara sebagai dicanangkan oleh Zhu Rongji semasa menjadi perdana menteri (1992-2003). Ia sejak awal terkenal dengan “melakukan pemecahan problema defisit perusahaan negara skala besar dan menengah dalam tiga tahunan”.

Zhu merancang hal tersebut setelah melakukan inspeksi ke provinsi Liaoning, karena ia menemukan fakta sejumlah besar perusahaan negara mengalami kerugian.

Reformasi dalam sistem perubahan dan keamanan sosial (social security) terkait dengan  gerakan yang dicanangkan Zhu Rongji dilanjutkan oleh  Hu Jintao/Wen Jiabao sejak 2003. China makin berani pula berkata “tidak” pada tekanan untuk merevaluasi nilai tukar mata uang Renminbinya.

Dari sisi  ekonomi, China juga makin terbuka peluangnya bagi investor asing sebagai dampak diversifikasi geografis dan transformasi kegiatan industrial. Kini, peluang-peluang itu tidak hanya terbatas pada kawasan pantai (coastal regions).  Yang makin berkembang adalah  Lembah Yangtze (Yangtze Valley) dari provinsi Sichuan ke Pudong di Shanghai, dan tiga provinsi di Timur laut (Northern Provinces).

Kegiatan investasi dari luar China diizinkan memasuki sektor perdagangan eceran (retail business), asuransi dan perbankan, pembangunan infrastruktur , telekomunikasi dan penerbangan sipil (civil aviation). Mengapa demikian? Kegiatan ekonomi ini sangat membuka peluang untuk profitabilitas  dan sekaligus menciptakan kesempatan kerja yang lebih produktif dibandingkan dalam perusahaan negara yang terus merugi.

Dengan makin matangnya perekonomian China, maka pertumbuhan ekonominya yang lebih banyak digerakkan oleh  masukan investasi (input-driven), sudah tampak suatu pergeseran ke arah masukan teknologis (technology driven) sekalipun masih dalam tahapan  embrio.

Dalam banyak kasus dan kondisi, banyak pengamat barat, terutama AS jarang sekali memahami pola pikir kepemimpinan China. Bagi China stabilitas politik adalah sangat krusial untuk kelanjutan reformasi dan pertumbuhan ekonomi. Nilai-nilai demokrasi Barat dan pengalaman Barat dalam demokratisasi, terutama paham “free trade  tidak mudah diterapkan di China secara dadakan. Bagi China fokusnya adalah reformasi administratif dan sosial ekonomi yang sudah berlangsung sejak awalnya Deng Xiaoping (1980) yang dijuluki sebagai Bapak   Modernisasi China.

Bagaimana peranan Jepang dan China di Asia masa mendatang? Perekonomian Jepang berubah cukup dinamis sejak tampilnya kepemimpinan Junichiro Koizumi (awal 2001) yang dikenal sebagai pendekar reformasi dan berkelanjutan. Kebijakan Jepang dalam politik dan ekonomi makin lebih terfokus pada Asia. Peranan Jepang awalnya kurang menggigit. Namun, sejak 2005 kedua negara tersebut tampil makin meyakinkan dalam memotivasi perkembangan ekonomi Asia.

Makin jelas berbagai negara tetangga Asia mendambakan dan mendukung kepemimpinan Jepang bersama China yang mampu memberi pengaruh karena kemakmuran sekaligus kekuatan ekonomi secara tepat dan kredibel.

Arus modal Jepang sejak dasa warsa 1970an ke Asia dengan berbagai implikasinya positif maupun negatif. Secara positif masuknya modal Jepang ikut menstimulasi pembangunan ekonomi negara tuan rumah secara signifikan.  Kebanyakan investasi Jepang itu adalah dalam industri yang padat karya, dan tidak terlalu menyentuh proses alih teknologi yang menyeluruh.

Kalau dalam perjalanannya ada investor ke Indonesia menunjukkan kelambanan (slow down) setelah kalkulasi internalnya dalam arti keterkaitan ke belakang maupun ke depan (forward and backward linkages) dengan acuan mengejar keuntungan, potensi pasar, lingkungan keamanan dan kepastian hukum, maka jangan terkejut kalau sampai melakukan relokasi. Inilah sikap “business” yang perlu kita pahami dan cegah.

Elit bisnis maupun pemerintahan di Indonesia makin dituntut berkompetensi profesional etis dan tumbuh makin dewasa dalam menyikapi arah gejala Asia Timur, termasuk kawasan Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dalam memasuki dasa warsa kedua abad 21 yang makin dnamis. (*)
                      
*) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi/bisnis Asia, dan Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara (FE Untar).
Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © 2011