Senin, 16 Januari 2012

MAUTIA

Sunday, 15 January 2012
HAMPIR setiap hari, selama dua bulan, di meja Wise selalu tergeletak permen cokelat. Sebutir—hanya sebutir. Hingga, awalnya, Wise tak begitu peduli.

Ia langsung memakannya tanpa bertanya-tanya.Ia yakin: itu tercecer kemarin atau tadi pagi. Dan sekaligus yakin, permen itu masih bersih sebab kemasannya belum rusak.

Steril. Tapi saat terus ada tiap hari,Wise mulai bimbang. Siapa orang itu? Siapa yang setiap hari setia menyisihkan sebutir permen? Kecuali Minggu, tentu—saat Wise tak bersekolah.Tapi apa jatah Senin disiapkan Sabtu? Atau si orang itu datang lebih pagi dari setiap siswa dan penjaga sekolah? ”Barangkali pelet?” ”Lebih buruk lagi: morfin! Digratisin agar lukecanduan!” ”Mungkin diberikan sebagai nafkah, karenanya lu terikat ijab kabul suami-istri. Lu bisa dibunuh bila jalan sama lelaki lain.” ”Gila!” ”Opini dijamin di negeri demokratis,Wis.”

”Opini apa isapan jempol? Ngawur mabuk arak!” ”Wah! Wise ngamuk ...” ”Sial! Orang lagi bingung malah dibikin panik.” ”Balik ke realitas,Wis.Fakta: ada yang memberi permen. Itu rezeki.Sikat aja!” ”Siapa dia? Masalahnya: siapa dia!” ”Itu lain. Itu urusan detektif.OK?” *** SETELAH perdebatan itu, meja Wise terbebas dari si permen cokelat.Bebas dari cairan yang memborehi lidah ketika lapisan karamelnya menipis dan pecah dikulum.Itu permen kesukaan Wise sebenarnya.Tapi, setelah lima hari hilang, di meja itu kini tergeletak setangkai mawar merah—dengan ranting, lima duri dan tiga daun.

Dikemas dalam plastik,diberi ikatan serta kartu ucapan. Tertera: Dari mata turun ke dada, dari rasa turun ke hati.Semoga bisa jadi penunjuk waktu. Mautia. Dan pagi itu, sesaat sebelum upacara bendera, kelas XI IPA 2 ribut besar.Wise berteriak. Histeris.Tidak terima dijadikan lelucon semena-mena begitu. Guru BP bertindak.Kepala Sekolah, dalam pidato pengarahan sebagai inspektur upacara,menyinggung insiden itu. Menasihati agar para siswa tak mengalihkan fokus bersekolah, dari suntuk belajar ke ihwal yang bersifat romantis dan syahwat.”UAN tahun ini meningkat bobot angka kelulusannya, sekaligus tambah banyak bebannya,” katanya.

Dan bersama nasihat itu desas-desus tentang si Mautinya Wise tersebar. Ia merupakan pencinta rahasia Wise, yang selama dua bulan setia mengirim permen buat Wise— dan yang kini mengirim setangkai mawar. Cerita menyebar. Dan setiap orang ingin tahu siapa sesungguhnya sang pencinta rahasia itu—si Mautia Ketika di tiga hari berikutnya muncul setangkai mawar polos di kursi Wise,guru Olahraga di jam olahraga mengumpulkan anak XI IPA 2 di aula.Semua dibariskan.Dipanggil.Diinterogasi. Mulai dari Wise. Ditanya, punya pacar? Apa merasa sedang ditaksir seseorang? Apa pernah menolak cinta seseorang? Wise tidak mengerti. Tidak tahu! Menggeleng.

Lalu satu demi satu temannya ditanya. Semua dimintai keterangan, apa mereka mengetahui gelagat seseorang menaksir Wise, si pencinta rahasia yang tak ditanggapi tapi ngotot. Garda Sitanggang, guru itu, bilang: rasa cinta itu, atau sekadar insting tertarik lawan jenis itu merupakan hal wajar.Itu sesuai denganperkembanganusiadan kematangan hormon. ”Tapi jadi tak wajar kalau tertarik pada sesama jenis. Dan sangat tak wajar bila hal itu disampaikan secara demonstratif lempar batu sembunyi tangan, sehingga Wise terteror dan kalian semua ikut tak nyaman.Ya kan?” ”Yaaaaa ...!” ”Jadi tolong si seseorang yang ngebet naksir Wise maju ke depan,sebelum aku memaksanya maju ke depan dengan memakai rok! Atau,tolong selidiki siapa si orang itu sampai aku memaksanya pakai rok saat upacara bendera, nanti. Kalian mengerti?!”

*** TIGA hari kemudian, melewati Minggu, setangkai mawar dengan kartu ucapan polos muncul lagi di meja Wise.Tanpa banyak cakap,Wise melempar mawar itu ke keranjang sampah, lantas pergi ke guru BP—Bu Mariah. Minta pindah kelas tapi tak dikabulkan.Tiga hari kemudian setangkai mawar polos muncul lagi di meja Wise.Saat dilaporkan,itu mendorong dilakukan tindakan rotasi kelas.Kelas XI IPA 2 kini menempati ruang kelas XII Bahasa 1. Tapi di hari ketiga kiriman mawar itu muncul lagi.

Kini bukan setangkai mawar tapi sebuket bunga gladiol putih dengan dibungkus plastik, disandarkan di kursi—dengan kartu ucapan berbunyi: Jam berdetak,waktu bergulir menggenapkan keberadaan kita. Sekaligus menghunus pisau pemotong umur—besok atau lusa. Harap cepat-cepat terjaga.Mautia. Dan pesan itu membuat KS berkeyakinan,kalau itu bukan ulah iseng si pencinta rahasia. ”Saya merasa ada ancaman di sana.Wise, seperti saya: merasa ada ancaman dan sekaligus sangat terancam!” katanya, ketika ia dengan diantar kasi humas sengaja menghadap piket di Polrestabes Bandung Kulon.

Polisi piket itu mengernyit. KS pun melaporkan detil kronologi peristiwa Wise, yang telah menjadi pengetahuan umum di keluarga besar SMA 3. KS berkaca mata itu menarik nafas, ”Saya atos merotasi kelas, gantos kunci pintu dan jendela.Penjaga sekolah bilang: aman.Nyatanya?” ”Apa hanya itu,Pak?” ”Seluruh siswa kelas XI IPA 2 bisa bersaksi.” ”Untuk apa?” ”Untuk mengakhiri teror itu. Untuk mengakhiri desasdesus yang bikin proses belajar mengajar terganggu.Bapak tahu, semua siswa berlomba datang paling pagi, bergegas ke kelas XI IPA 2,memeriksa meja Wise,dan ...” ”Itu bagus kan?” ”Kalau mereka fokus pada pelajaran. Nyatanya ... ngrumpi!” ”Jadi?” ”Kirim polisi. Selidiki, dan tangkap si iseng itu.” ”Maaf. Kami kekurangan tenaga!” Sang KS mendelik. Berbalik. Bergegas melakukan rapat. Akhirnya diputuskan: Menambah petugas jaga malam. T

ak hanya dua orang tapi empat orang.Yang selalu keliling meronda sekolah.Tiap malam, mulai pukul 20.00 sampai 06.00.Bergiliran agar si usil itu tidak kurang ajar lagi.Tapi nyatanya, buket bunga itu tetap muncul. Meski cuma diletakkan depan pintu gerbang sekolah, di pinggir jalan.Karenanya itu menjadi peristiwa besar yang mengundang pers. Baru setelah berita tentang buket bunga dari si pencinta rahasia Wise itu muncul di koran dan TV polisi sigap bertindak.Meski lebih disebabkan ada wali murid berpengaruh menelepon sekolah, dan mendapat pengaduan tentang ketidakpedulian polisi—tokoh itu yang kemudian menegur polisi.

Penyelidikan menjadi formal. Tapi, celakanya,buket bunga itu—pada rangkaian dengan kaki bambu—kembali muncul depan gerbang sekolah. Lengkap dengan kartu nama pink dan wacana tinta hitam. Kini itu berbunyi: Dan orang-orang tahu betapa terbatasnya usia. Jangan pilon, pura-pura tak tahu,kalau waktu setiap saat siap meninggalkanmu. Mautia.

*** KARENA publikasi pers memuat pengakuan polisi— yang tidak bisa menelusuri sumber gangguan itu,Wise pun memutuskan berpindah sekolah. Tapi di sekolahnya yang baru itu pun gangguan serupa muncul lagi. Diawali sebutir permen cokelat setiap hari selama seminggu, lalu setangkai mawar tanpa kartu ucapan selama seminggu, dan lantas disusul buket gladiol putih. Rentetan peristiwa itu membuat Wise memutuskan: pindah ke luar kota.

Dan dengan dukungan keluarga diam-diam pindah ke Madiun, ke SMA 3–tanpa memberi tahu siapa pun.Dan di Madiun Wise diperkenalkan KS SMA 3 sebagai siswa pindahan yang ikut Mbah-nya di Suhud Ngosingo, karena orang tuanya ke Belgia. Dan Wise akan menyusul dalam satu setengah tahun ke depan.Siswa-siswa XI IPA 2 itu bertepuk tangan serta berkomentar lucu. Wise, dengan bahasa Inggris—diharuskan, menerangkan dirinya dan mengharap yang lain membantu beradaptasi. Setelah perkenalan itu,saat menuju ke kursinya: ia tersentak.

Di sana tergeletak setangkai mawar, dalam bungkus plastik dan yang di ujungnya terikat kartu ucapan.Wise mengernyit. Gemetar—menggigit bibir. Bimbang. Panik— celingukan, dan melulu menemukan wajah yang lugu menatap serta jenaka ingin segera berkenalan. ”Itu, itu ...,” katanya, sambil menunjuk,”Itu mawarnya siapa? Untuk siapa?” Semua siswa di kelas spontan melirik. Semua siswa tersentak. Seingat mereka dari tadi, di sana: tidak ada mawar. Seingat mereka: tidak ada yang bersiap menyambut Wise karena mereka tidak tahu akan kedatangan murid baru. Ya! Dan diam-diam Adi mengangkat tangkai mawar itu. Mengacungkannya, lalu lantang membaca tulisan di kartu. ”Tak seorang pun yang bisa mengingkari jaring takdir.

Di sini di tempat ini waktumu habis. Mautia,”teriaknya—pamer vokal didikan TeaterAsap.Semua siswa tertawa.Santai. Bagi Wise sendiri itu bagai dentang gema lonceng yang datang entah dari mana, yang melampaui rentangan ruang dan waktu sebelum perlahan mengendap–mengabur dalam pendengaran. Sesuatu yang samar tapi tetap bisa dipahami, sesuatuyangentahmengisyaratkan apa tapi membuatnya tersadar: ada sesuatu yang mengetuk jiwa. Dan bersama semakin sayup deklamasi dan suara tawa dalam kelas itu jiwanya bak ditarik sesuatu—dipaksa menjauh, dan karenanya semua hal menjadi terdengar samar.

Bahkan kini semua hal menjadi tak tertandai lagi karena jiwanya terus ditarik memasuki kabut —hamparan asap dari segala sesuatu yang teramat dingin dan kian membeku.Menjauh dari hangat darah mengalir deras di tubuh dan terang ruang kelas jam 09.00 pagi. Menjauh. Bahkan sangat jauh dari sekadar berada di kamar hotel saat udara pagi musim penghujan di Sarangan yang berkabut ketika musim libur keluarga dimulai dan semua orang berkurung di kamar sebelum ambil mandi air hangat—atau tanpa mandi—, lantas bergegas mencari sate kelinci di kios-kios di seputaran telaga.

Wise merasa semakin diselusupkan dalam kegelapan kabut yang makin mencengkeramnya dengan semakin tebalnya. Kekal. Tubuh rubuh dan nafas beku.Tapi di siang pemakaman Wise, di kuburan umum itu—kata koran dan sepertinya yang ditampilkan secara riil di berita TV-, ada kiriman bunga duka misterius. Buket besar dilengkapi kartu ucapan yang berbunyi: Awalnya, dulu, aku tidak mengerti, bagaimana apa mungkin bisa menjemputmu di sini. Kini aku makin mengerti akan skenario besar Allah SWT, saat kamu tanpa sadar menjemput tempat dan waktu yang telah digariskan- Nya di Madiun. Mautia. Polisi bergerak dan menyelidik.

Tapi tidak bisa menuduh siapa pun, karena mereka hanya punya setangkai mawar dan kartu ucapan tanpa sidiki jari dan asal-usul tempat pembelian— semua ciri organik bunga dan anorganik kertas tak sama dengan ciri khas benda yang sama yang ada di dunia ini. Dan penyelidikan pada sidik jari yang ada pun hanya merujuk pada si usil Adi, yang mengambilnya dan membacakan pesan. Hanya serangkaian bunga duka cita yang steril dari sidik jari serta pertanda apa pun.

Misterius. Gaib. Dan kini di Labkrim Mabes Polri berkas kasus itu— dan barang bukti—disimpan dalam lemari khusus. Dianggap kasus misterius— yang tak terpecahkan. Bahkan alih-alih bisa dipecahkan, polisi menutup kasus itu sebagai yang sama sekali mustahil dipecahkan—berkaitan dengan sesuatu yang gaib. Dan mungkin semua bukti itu sengaja disembunyikan supaya tidak terjatuh ke pihak yang tak bertanggung jawab,yang yakin dan berani mengklaim itu sebagai: prosedur tidak standar mencabut nyawa sesuai aturan legal agamawi, sebagai tes keimanan akan takdir dari Allah SWT bagi si terpilih dengan memakai media si malaikat pencabut nyawa.

Dan itu akan kuat menghembuskan bangkitnya sikap tawakal,jamaah yang memilih buat pasrah, mutlak Jabariah berserah diri—bahasa segala hal sejak awal sudah mempunyai ketentuan.

BENI SETIA
E-Mail: benisetia54@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar