Minggu, 15 Januari 2012

Bagaimana Caranya Menjadi Manusia Seutuhnya?

Cara Menjadi Manusia Seutuhnya?
Manusia tidak akan pernah mendengar bahasa alam karena kabut dunia yang menyelimuti pikiran dan akalnya yang jernih. Pada saat ini yang ada di hadapan kita adalah peristiwa nyata yang terjadi yaitu: alam berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh manusia. Karena manusia terbiasa berdialog dengan ide-ide dan bahkan menyembah pemikiran-pemikiran pada diri mereka sendiri. Tanpa sadar sebenarnya kita telah menciptakan sesuatu ‘bentuk’.
Sesuatu yang disebut ‘bentuk’ pasti awalnya adalah sesuatu yang tanpa bentuk. Sama dengan seorang arsitek pada saat ingin membangun sebuah rumah atau gedung, maka ide-ide itu telah ada dalam pikirannya tapi belum menjadi sebuah bentuk. Dinamakan bentuk adalah sesuatu yang dapat diraba, dilihat, dengan panca indera.
Pernahkah manusia bertanya pada dirinya sendiri, hanya sebatas usaha manusia-kah bentuk itu tercipta? Jika begitu kejadiannya, tidak-kah sebelum manusia itu menciptakan bentuk tersebut, ia berpikir terlebih dahulu untuk apa ia menciptakan itu semua?
Kalau tidak pernah manusia itu berpikir tentang manfaat dari ciptaannya, maka apa gunanya ilmu pengetahuan yang mereka banggakan bagi umat manusia ini? Peperangan, politik, agama yang dimanipulasi, dan hubungan sosial yang tidak pada tempatnya; bukankah itu juga suatu bentuk ciptaan manusia? Akhirnya masing-masing diri menunjukkan keberadaannya dalam bentuk ciptaannya masing-masing.
Pada saat manusia menunjukkan keberadaannya sebagai bentuk makhluk yang sesuai dengan kodratnya maka ia siap mewujudkan diri dengan ‘perbuatan’. Berbuat dengan kemampuan yang dimiliki, mulai dari lahir hingga dapat berjalan lalu beranjak dewasa. Kemampuan merasa, meraba, mencium, melihat dan mendengar akan aktif bekerja hingga menghasilkan suatu perbuatan yang terus berkembang.
Rasa ingin tahu pada diri manusia sangat besar. Mulai dari suatu kesalahan maka manusia tahu akan hal yang benar; mulai dari kegagalan manusia tahu jalan untuk mencapai keberhasilan dan dari hal yang buruk manusia juga tahu tentang hal yang baik. Perkembangan yang dicapai pada diri manusia dalam tahap ini hasilnya adalah ‘kepuasan’.
Perbuatan manusia yang satu dengan lainnya ibarat pantulan cermin. Begitu juga dengan perkataan, pikiran, dan perasaan adalah cermin yang tampak jelas bagi manusia dengan manusia yang lain. Sehingga dengan itu maka terciptalah hubungan yang saling berinteraksi dan saling mengisi dalam arena kehidupan ini.
Alam dunia ini tempat manusia dilahirkan, untuk berbuat dan untuk belajar, bahkan alam dunia juga tempat kematian. Dalam wujudnya alam dunia ini diciptakan seperti bentuk yang memungkinkan manusia melakukan apapun untuk kepuasan atau kenikmatan, bahkan penderitaan dan juga kebahagiaan. Sesuatu yang tampak dalam kenyataan akan berubah setiap saat. Disebabkan hal yang terjadi hanya atas dasar keinginan dan kebutuhan, akhirnya manusia merasa puas dengan segala ‘bentuk’ ciptaannya itu.
Manusia itu mempunyai kuasa dan kehendak dalam dirinya untuk membangun, memelihara, merusak, bahkan kuasa membiarkan. Manusia telah menganggap dirinya adalah pencipta segala sesuatu bentuk yang ada, sehingga manusia lupa akan makhluk yang lainnya yaitu Alam Semesta Raya.
Adakah manusia saat ini berpikir ada sesuatu ‘yang lain’ di dalam dirinya ? Manusia mengenal dirinya sebatas kemampuan yang ia miliki; ini terlihat dari ‘ciri-nya’ yaitu awak, otak dan watak. Awak atau tubuh manusia adalah wadah atau tempat untuk merasakan dalam dirinya akan kebutuhan, keinginan, serta sakit atau penderitaan dan perasaan lainnya.
Otak adalah bagian dari ciri manusia yang sangat berperan. Dengan otak inilah manusia belajar tentang banyak hal di bumi ini sehingga mereka menyerap banyak ilmu pengetahuan yang dipelajarinya secara formal yang diserap oleh panca indera pada tubuh manusia. Otak yang membuat diri manusia menjadi paham tentang ‘maksud atau tujuan’. Akhirnya watak juga yang menentukan keberadaan diri itu melalui pikiran, perasaan, perkataan serta tindakan.
Awak, otak dan watak manusia diterjemahkan dalam wujud tindakan yaitu ‘kata-kata’. Kata-kata tidak lain hanyalah ‘bayangan’ dari kenyataan.
Apabila kata-kata yang merupakan ‘bayangan’ saja dapat menawan hati, betapa mempesona kekuatan kenyataan yang ada di balik bayangan!
Sebenarnya unsur simpati-lah yang merupakan kekuatan kenyataan yang ada di balik kata-kata yang dapat menarik hati satu orang pada orang lain, bukan kata-katanya. Unsur simpati itu pula yang dapat mengguncangkan dan menggelisahkan seseorang. Meskipun begitu, simpati yang memiliki kekuatan dahsyat itu tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata.
Gambaran mental dari segala sesuatu yang hinggap pada otak manusia akan membawanya pada proses kesadaran. Gambaran tentang ‘taman’ akan membawa manusia menuju sebuah taman. Gambaran tentang ‘toko’ akan membawa manusia menuju ke sebuah toko. Tapi ada sesuatu yang tersembunyi dalam gambaran mental tersebut.
Seringkali kita mengalami ketika pergi ke suatu tempat, tiba-tiba saja kita dapati tempat yang kita kunjungi tersebut tidak seperti apa yang ada dalam gambaran kita, dalam citra mental kita.
Ketika mendapati kenyataan ini kita akan merasakan kecewa dan berkata: “Aku pikir tempat ini seindah yang kubayangkan, ternyata biasa-biasa saja”. Ketika itulah citra gambaran kita dihilangkan dan kenyataan muncul tanpa diiringi lagi oleh citra mental.
Maka disitulah terjadi proses penyadaran kembali pada manusia. Kita seakan terbangun dari tidur. Ketika suatu peristiwa terjadi, maka tidak ada kesempatan lagi untuk merasa kecewa. Sebab kesadaran yang membangunkan kita tiada lain adalah kenyataan itu sendiri.
Sesungguhnya pada saat itu manusia sedang belajar dengan dirinya sendiri. Pada hakikatnya yang ‘mempesona’ hanya satu hal, tetapi gambarnya tampak bermacam-macam.
Cobalah kita lihat, tidakkah manusia memiliki ratusan keinginan yang berbeda tentang makanan ? “Aku ingin mie, aku ingin kue, aku ingin bakso, aku ingin nasi goreng”. Begitu banyak gambaran tentang keinginan yang berbeda yang diungkapkan dengan jelas oleh manusia. Meski demikian, asal mula dari segala hal ini hanya satu adalah ‘rasa lapar’.
Lihatlah kembali setelah mereka memakan jatah makanan sesuai dengan keinginannya akan berkata: “aku sudah kenyang”.
Maka pada kenyataannya, sebenarnya tidak ada yang dikatakan sepuluh hal atau seratus hal, yang ada hanyalah ‘satu’. Dengan cara seperti itulah konsep rasa yang sangat halus dalam diri manusia bekerja menghasilkan kecerdasan.
Tetapi siang dan malam manusia disibukkan dengan makanan, hanya karena manusia beralasan bahwa konsep rasa yang halus dalam dirinya dapat memperoleh kehidupan dari badan fisik.
Padahal nyata-nyata konsep rasa yang halus memiliki cara yang berbeda dalam memunculkan sifat kecerdasan.
Kembali kepada awak, otak dan watak manusia yang sebenarnya saling bekerja sama untuk membuat manusia menempuh jalan ‘kesadaran’. Tapi keinginan yang bermacam-macam pada diri manusia membuat nalar tidak dapat bekerja dengan semestinya, semakin jauh dari pemahaman apalagi pengertian.
Manusia-lah yang membuat berbagai alasan untuk keluar dari pemahaman dan pengertian dan menoleh pada agama untuk memperoleh bantuan, karena agama-lah yang dianggap mampu menemukan jawaban. Meski demikian apabila seseorang menghabiskan hidupnya dengan kebodohan tanpa menggunakan nalar maka pemahaman diri akan tumbuh dengan lemah dan tidak akan mampu mengenali kekuatan agama.
Manusia hanya menumbuhkan keberadaan fisik, padahal didalamnya tidak ada kecerdasan apapun. Tidakkah manusia melihat bahwa orang gila memiliki tenaga fisik yang kuat tetapi tidak ada kecerdasan apapun ?
Begitulah mulianya manusia sebagai makhluk di alam dunia atau di bumi ini. Tapi manusia suatu saat akan berkata: “Ada sesuatu yang aku lupakan”. Manusia boleh melupakan apapun, tapi ada satu hal di dunia ini yang tidak boleh dilupakan. Apabila mengingat banyak hal tapi melupakan satu hal ini, maka manusia tidak akan dapat menyelesaikan apapun.
Ibarat seorang raja yang mengirim utusan ke suatu tempat dengan tujuan tertentu, lalu utusan itu pergi dengan melakukan ratusan tugas yang lain, sehingga melupakan tugas yang utama.
“Apabila melupakan tugas utama yang mana untuk itulah engkau dikirim maka sebenarnya engkau tidak melakukan apa-apa”.
Manusia muncul di dunia ini untuk tujuan dan maksud tertentu, apabila tidak memenuhi maksud atau tujuan itu, berarti manusia belum melakukan apa-apa.
“Dan kami telah memuliakan anak Adam”(QS.17:70). Tuhan tidak berfirman “kami telah memuliakan surga dan bumi”.
“Kami menawarkan amanat kepada surga, bumi, gunung dan semua menolak untuk menjalankannya, dan takut kepada tawaran itu. Tetapi manusia berani menjalankannya, sungguh manusia tidak adil kepada dirinya dan bodoh” (QS. 33-72).
Maka sudah menjadi kewajiban manusia untuk melakukan apa yang tidak mampu dilakukan surga, bumi dan gunung. Apabila manusia telah berjanji untuk mampu menyelesaikan amanah dan tugasnya lalu melaksanakan perintah-Nya, maka ke-tidak-adil-an dan ke-bodoh-an yang menjadi sifat manusia akan sirna.
Manusia boleh meragukan dan menyatakan bahwa tanpa menyelesaikan tugas itu, ia telah menyelesaikan banyak tugas yang lain. Tetapi ada manusia lain yang berani mengatakan padamu, bahwa manusia tidak diciptakan untuk pekerjaan yang lain-lain itu.
Bagaikan seseorang yang menemukan sebilah pisau yang bernilai tinggi dalam tumpukan barang harta karun sang raja, tetapi digunakan sebagai parang untuk mecincang daging busuk. Lalu manusia membenarkan perbuatannya dengan alasan “aku tidak dapat membiarkan pisau ini menganggur, lalu aku menggunakannya untuk sesuatu yang baik”.
Bagaikan engkau menggunakan mangkuk emas untuk memasak lobak, padahal secuil dari pecahan mangkuk emas itu dapat membeli seratus periuk. Seperti engkau menggunakan belati tersepuh permata untuk menggantungkan labu dengan alasan agar belati itu ada manfaatnya.
Tidakkah semua ini menggelikan dan bahkan menyedihkan?
Apabila labu mampu dilayani hanya menggantungnya dengan paku atau pasak kayu yang bernilai uang recehan, mengapa harus menggunakan belati yang berharga ratusan juta untuk maksud seperti itu ?
Tanpa disadari manusia menciptakan ‘nilai’ tentang dirinya tanpa pemahaman dan pengertian dari ‘tata nilai’ diri yang sebenarnya.
“Engkau akan melampaui dunia ini dan hari kemudian dengan suatu ‘nilai’. Apa yang mesti ‘AKU’ lakukan jika engkau tidak mengetahui nilaimu sendiri. Janganlah engkau menjual dirimu dengan harga murah, karena ‘AKU’ ciptakan engkau sangat berharga”.
Begitu mulianya kedudukan manusia dibandingkan makhluk yang lainnya. Manusia menggunakan dalih menyibukkan diri dengan ratusan amal terpuji. Manusia berkata, “aku telah mempelajari ilmu kedokteran, teknologi, keuangan, astronomi, fikih dan berbagai bidang ilmu”. Sesungguhnya apa-apa yang dipelajari semua itu untuk dirimu sendiri.
Manusia mempelajari sistem keamanan untuk menghilangkan ketakutan, mempelajari obat-obatan agar hidup sehat, mempelajari astrologi untuk tanda keberuntungan atau ketidak-beruntungan yang berhubungan dengan pengawasan diri. Pada akhirnya semua ilmu yang dipelajari hanya untuk kepentingan diri sendiri. Setiap ilmu pengetahuan yang dipelajari manusia pada saatnya akan mencapai ‘titik puncak’ keberhasilan masing-masing.
Apabila merenungkan hal ini, akan tersadari bahwa manusia adalah ‘substansi’ dan segala yang dipelajari hanyalah bawahan dari substansi. Sekarang apabila yang ada dibawah dirimu memiliki demikian banyak cabang keajaiban, pertimbangkanlah dirimu yang merupakan substansi, mesti menjadi apa ? Apabila bawahanmu memiliki ‘titik puncak’, tanda keberuntungan dan ketidak-beruntungan, lantas coba pikirkan ‘titik puncak’ apa yang mesti engkau raih?
Kemana manusia akan melangkah setelah tahu dirinya hanya sebagai substansi ? Bagaimana mungkin manusia menghabiskan seluruh kekuatannya hanya untuk mementingkan dirinya sendiri atau kebutuhan fisik semata dan mengabaikan inti dari segala sesuatu ? Sesuatu ‘yang lain’ yang lebih halus. Padahal fenomena material keberadaan diri ini bergantung kepada esensinya.
Sesungguhnya manusia ‘jujur’ adalah manusia yang mau mengakui kelemahan dan kelebihannya. Jika hanya salah satu saja yang diakui oleh manusia maka ia telah membuat sia-sia dirinya sendiri. Manusia telah melupakan makanan lain untuk dirinya dan telah menyibukkan diri dengan makanan dari alam dunia ini. Siang dan malam menyediakan makanan hanya untuk tubuh.
Sekarang renungkanlah ! Tubuh ini adalah kudamu, dan dunia ini adalah pelananya, manusia adalah pengendara yang mengendalikan kuda dengan pelananya. Makanan kuda tidak sama dengan makanan pengendaranya. Seekor kuda mempertahankan dirinya menurut sifat alamnya sendiri. Jika manusia diliputi sifat kebinatangan dan kehewanan maka ia seperti pengendara yang tetap diatas pelana tapi dikendalikan oleh kudanya. Tubuh itu telah menguasainya, manusia mentaati perintah tubuhnya dan menjadi tawanan tubuh itu sendiri.
Maka seperti itulah orang terpelajar pada zaman ini dengan ajaib memahami ilmu pengetahuan.
Mereka telah sempurna belajar memahami hal yang asing yang bukan merupakan perhatian mereka. Tetapi yang benar-benar penting dan terdekat dari semua hal adalah memahami ‘dirinya sendiri’. Betapa orang-orang yang tepelajar tidak mengetahui hal itu.
Sesungguhnya manusia belum mencapai maksud dan tujuannya. Mencari dan terus mencari!!
Seperti seseorang membuat sebuah puisi. Puisi hanyalah cabang tapi yang utama adalah maksud dari puisi itu. Seseorang tidak akan dapat menggubah suatu puisi apabila tidak ada maksud. Demikian juga dengan kata-kata bukanlah hal yang utama tapi maksud dari kata-kata itulah yang utama.
Manusia melakukan sesuatu dengan benar dan wajar karena telah tahu maksud dan tujuannya sehingga apa yang dikerjakan tidak akan sia-sia. Jika seseorang telah mengutamakan maksud atau tujuan maka tidak ada lagi dua sisi yang berbeda. Karena dua sisi yang berbeda berada pada cabang tapi berasal dari akar yang tetap satu.
Persis seperti angin yang berhembus ke dalam rumah, angin akan mengangkat sudut karpet, menerbangkan debu atau menyebabkan cabang pepohonan bergoyang. Semua hal itu tampak berbeda; padahal dari titik pandang maksud, prinsip dan realitas mereka sebenarnya satu yaitu: gerakan mereka semua berasal dari satu angin yang berhembus.
Ada berbagai macam hal dalam diri manusia. Dia adalah seekor tikus, dan dia juga seekor burung. Kadang burung ingin mengangkat kurungannya tapi tikus menariknya kembali ke bawah. Ada ribuan binatang lain dalam diri manusia, sampai dia maju pada satu titik tempat dimana tikus melenyapkan ‘ketikusannya’ dan burung melenyapkan ‘keburungannya’ dan pada titik itu manusia juga melenyapkan sifat kebinatangannya.
Lalu pada akhirnya semua akan disatukan.
Setiap mencari sasaran sebenarnya kita tidak keatas ataupun kebawah. Ketika sasaran ditemukan tidak ada lagi tentang arah atas, bawah, atau depan, belakang. Seperti seseorang kehilangan sesuatu, dia mencarinya kesegala arah, dan ketika benda itu dtemukan maka dia menghentikan pencariannya.
Seperti itulah gambaran tentang ‘hari kebangkitan’ pada manusia. Setiap orang akan melihat dengan satu mata, mendengar dengan satu telinga, berbicara dengan satu lidah dan menyerap dengan satu panca indera. Tapi kebanyakan manusia semangkin tidak mempercayai akan adanya ‘hari kebangkitan’ yang akan terjadi pada setiap diri manusia di muka bumi ini.
Di dunia ini setiap orang disibukkan dengan sesuatu. Sebagian disibukkan dengan cinta, sebagian dengan harta benda, sebagian dengan tahkta dan sebagian dengan ilmu. Tetapi masing-masing orang ‘percaya’ pada kesejahteraan dan kebahagiaan yang akan dicapainya berdasarkan semua itu. Demikian pula halnya tentang percaya pada rahmat Tuhan.
Ketika manusia mulai mencari Tuhan, dia tidak menemukannya lalu menghentikan pencarian. Setelah beristirahat sebentar dia berkata “ rahmat Tuhan itu harus terus dicari, barangkali aku tidak cukup gigih, biar aku coba mencari kembali “. Ketika dia kembali mencari dan masih tidak menemukannya, tapi dia terus mencari hingga sang rahmat membuka diri.
Ketika sampai pada tahap itulah manusia menyadari bahwa sebelumnya dia melakukan pencarian pada jalan yang salah. Meski demikian, Tuhan memiliki beberapa pelayan yang melihat dengan pandangan jernih bahkan sebelum tiba hari kebangkitan.
Manusia akan mencari jawaban pada saat ada pertanyaan. Tetapi wujud alam dunia ini telah menghalangi manusia akan hakikat dari dirinya sendiri. Awak, otak dan watak dikatakan cukup bagi dirinya sebagai modal untuk berjalan dimuka bumi. Padahal itupun hanya bentuk dari yang tersembunyi.
Setiap yang berbentuk pasti akan musnah Renungkanlah hal ini dari dari realitas yang ada disekeliling kita ! Tanpa harus perlu diterangkan dengan ilmiah atau alamiah setiap sesuatu yang mempunyai bentuk pasti akan rusak dan musnah. Tetapi manusia tidak melihat bahwa ada sesuatu bersifat kekal didalam dirinya yaitu ‘jiwa dan ruh’ nya.
Di dalam dirinya ada ‘diri esensi’ dibalik ‘diri substansi. Jika manusia tidak berusaha untuk mencari diri esensi maka dia akan tetap sebagai diri substansi berarti dia bukan apa-apa.
Sesungguhnya manusia adalah mahluk yang mulia disisi Tuhan karena akalnya. Itulah yang membedakan mahkluk manusia dengan mahkluk ciptaan lainnya. Jika akal berjuang dengan seluruh kemampuannya, namun tidak mampu memahami sesuatu, mengapa dia harus menghentikan usahanya ? Apabila akal menghentikan upaya karena tidak mencapai pemahaman, maka dia bukanlah akal. Karena akal selalu berusaha siang dan malam, tanpa istirahat menyibukkan dirinya dengan ‘pikiran’ untuk memahami sang Pencipta. Sekalipun Sang Pencipta mustahil untuk dipahami dan dibayangkan.
Akal itu diibaratkan seperti binatang ‘laron’ dan kekasih Ilahinya adalah lilin. Ketika laron menerbangkan dirinya menuju lilin, tak dapat dielakkan lagi dia akan terbakar dan hancur. Laron tidak akan mampu menahan nyala lilin, tapi dia tidak perduli. Laron rela untuk menderita terbakar dengan seluruh rasa sakit yang dia rasakan.
Binatang yang tidak mampu menahan nyala lilin dan menerbangkan dirinya kedalam nyala itu adalah ‘laron’. Lilin adalah tempat laron melemparkan dirinya padanya, tetapi jika tidak mampu membakar laron, ia bukanlah lilin.
Maka, Manusia yang bertahan dalam ketidaktahuannya tentang Tuhan dan tidak berusaha dengan segala usahanya untuk memahami Tuhan maka ia bukanlah manusia. Tuhan yang dapat dipahami manusia bukanlah Tuhan. Manusia sejati tidak akan pernah berhenti berusaha. Dia menunggu tiada henti disekitar ‘cahaya’ Tuhan yang mengagumkan.
‘Tuhan’ adalah nyala lilin yang ‘membakar’ manusia dan terus menariknya hingga dekat. Tapi kedekatan itu tidak dapat dipahami oleh akal intelektual.
Wahai manusia ! Kalian dengarkah seruan alam ini ? Pada saat manusia terlena dengan segala yang diperbuat maka semesta alam mulai dari bumi, air dan gunung memberi kasih sayangnya pada manusia dengan ‘rasa ingat’. Pada saat terjadi bencana semua berteriak memanggil Tuhan. Dari mana bencana itu datang ? Mengapa itu disebut bencana ? berkacalah pada diri ini, mengapa ini semua terjadi.
Jangan menyalahkan siapapun karena awalnya manusia sudah berjanji menanggung amanah bagi surga, langit dan bumi. Sebaliknya pada saat manusia sudah menggenggam janji itu, maka surga, langit dan bumi tidak akan mau menanggung kesalahan satu orang manusiapun atas perbuatannya.
Surga adalah kebaikan, Bumi adalah kasih sayang dan Gunung adalah tujuan pendakian. Semua adalah simbol dalam jalan ‘kebenaran’. “Dan tiadalah kehidupan dunia melainkan senda gurau dan main-main,. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenar-benarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui” [QS29:64].
“Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang [kejadian] diri mereka ? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan [tujuan] yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan diantara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya” [QS30:8].
Tidakkah manusia percaya akan janjiNya ? Tidakkah manusia bertanya yang diciptakan pasti ada yang menciptakan ? Manusia mencipta banyak hal, lalu siapa yang menciptakan manusia ? Apakah semua ada dengan sendirinya? Betapa manusia menjadi penentang yang nyata padahal awalnya hanya dari tanah dan air mani yang hina.
Manusia tidak akan merasa puas dengan apa yang telah didapatkannya. Meskipun disadari bahwa setiap orang tidak dapat dipisahkan dari kebutuhannya. Kebutuhan itu akan lebih dekat pada diri manusia dari pada ayah dan ibunya.
Manusia tidak dapat mengekang dirinya sendiri karena keinginannya mencari kebebasan. Adalah perbuatan yang bodoh jika manusia mencari kebebasan tapi mendekati perbudakan. Menjadi budak dari keinginan dan kebutuhan yang selalu haus dan tidak terpuaskan.
Seluruh pengetahuan pada asalnya dianugrahkan pada Adam, itulah manusia pertama yang dengan akal mengenal dirinya. Disebabkan memakan buah terlarang sehingga manusia dapat mengetahui baik dan buruk yaitu pengetahuan sebab dan akibat.
Dengan pengetahuan sebab dan akibat ini segala hal yang tersembunyi menjadi terlihat melalui jiwanya. Persis seperti air jernih yang menampakkan batu dan tanah liat dibawahnya, dia juga memantulkan setiap benda yang ada diatas pada permukaannya itulah sifat sejati air. Meski demikian, ketika tercampur kotoran atau keruh karena masuknya warna lain, air jernih itu akan kehilangan sifat hakikinya.
Manusia ‘melupakan’ betapa Tuhan telah mengirimkan nabi dan orang suci seperti air jernih. Agar air keruh dan berwarna dapat ‘disapa’ kembali oleh air jernih. Sehingga ia dapat membebaskan dirinya dari kekeruhan dan campuran warna lain. Air keruh itu kemudian mengalami proses pembersihan kembali.
Ketika melihat air jernih yang ‘menyapanya’, air keruh itu menjadi sadar bahwa asal mulanya dia adalah air jernih. Lalu air keruh itu mengenang keadaan diri sebelumnya dan berkata “Inilah aku pada awalnya“. Karena tercampur keruhnya warna air dunia maka manusia melupakan hakikat diri yang sebenarnya.
Setiap manusia tentu memiliki hasrat, kasih sayang, cinta dan kemesraan yang dia tumpahkan terhadap segala hal misalnya kepada; ayah, ibu, anak, sahabat, pengetahuan, makanan dan minuman, juga tentang surga. Dia tidak mengetahui bahwa segala hasrat dan keinginan itu menjadi ‘tirai’ yang menghalanginya.
Ketika seseorang mampu melampaui dunia ini dan melihat Sang Raja tidak tertutup tirai itu, ia akan sadar bahwa seluruh hasrat dunia tersebut adalah ‘tirai yang menutupi’. Sementara apa yang mereka cari pada hakikatnya satu. Dengan adanya kesadaran ini maka semua masalah akan terpecahkan. Seluruh pertanyaan dan kesusahan hati akan terjawab dan akan menjadi jernih.
Permasalahannya adalah, apakah manusia ingin dan berkehendak untuk ‘mendengar’. Karena manusia terbiasa hanya ingin didengar. Pada saat dirinya diuji dengan berbagai masalah yang terus menerus tanpa henti, tapi tetap saja melihat keluar diri dan menyalahkan orang lain. Jika mau ‘mendengar’ suara dari dalam dirinya sendiri maka disitu dia akan mendapat petunjuk bahwa sumber kesalahan ada pada dirinya sendiri.
Segala sesuatu tidak ada yang berasal dari luar diri, tapi pantulan dari dalam memperlihatkan segalanya diluar diri ini. Tabiat, watak dan sifat, berwujud dalam perbuatan. Apapun hasil yang diperoleh adalah tergantung dari bibit yang ditanam. Hasil dari masa kini adalah sebab dari bibit yang ditanam pada masa lalu. Maka tanamlah bibit yang baru dimasa kini agar dapat memperoleh hasil yang baik dimasa mendatang.
Manusia adalah sumber dari sebab dan akibat. Pada saat kita menyadari akibat yang timbul dari perbuatan diri sendiri maka segera akan mencari sebab dan mendapatkan makna sesungguhnya dari setiap masalah kehidupan. Sehingga kita tidak selalu menyalahkan orang lain akan kenyataan yang ada.
Manusia dalam proses kehidupan ini akan belajar dari Hidup itu sendiri yang merupakan sebab adanya alam semesta, langit, bumi dan seluruh isinya ini. Manusia tidak melihat hidup tetapi hanya melihat ‘kehidupan’ yang sebenarnya adalah bayang-bayang dari Hidup. Maka apabila kita hanya melihat bayang-bayang berarti semua adalah fatamorgana yang akan lenyap dan musnah.
Dalam kehidupan ini telah ada keseimbangan. Dalam kesimbangan maka kehidupan ini diatur dalam tatanan sehingga ada keteraturan, berkesinambungan satu sama lain untuk tujuan mencapai keselarasan. Manusia jika ‘sadar diri’ maka dia akan menjaga semua amanah ini dalam melaksanakan kehidupan dimuka bumi. Perbuatan manusia yang tidak sadar dalam ‘cara’ berpikir, merasakan, berkata dan bertindak setiap saat selalu akan merubah tatanan dalam kehidupan ini.
Manusia punya kehendak bebas untuk selalu berubah. Tetapi jika perubahan itu dilakukan dengan perbuatan yang selalu ingin mementingkan dirinya sendiri dan hidup seperti hewan dengan sifat kebinatangannya, maka sangat naïf dan munafik apabila manusia dengan cara seperti itu menginginkan kedamaian akan tercipta dalam kehidupannya.
Kesimbangan akan tetap berjalan sekalipun ada baik dan buruk, ada senang dan susah, ada si miskin dan si kaya ada duka dan bahagia. Ada yang beriman dan tidak beriman, ada yang percaya Tuhan dan tidak ber-Tuhan. Semua itu disebut berpasangan. Tidak akan ada masalah jika selalu berada dalam wilayah keseimbangan. Tetapi apabila salah satu dari yang berpasangan itu melebihi atau melampaui batas dan keluar dari wilayah keseimbangan maka akan tercipta ketidakseimbangan, merusak tatanan kehidupan dan semangkin jauh dari tujuan ‘Hidup’ yang sebenarnya.
Keseimbangan merupakan perangkat keras dari hukum-hukum alam yang tidak bisa dihindari oleh manusia dan semua mahluk dimuka bumi ini. Untuk itulah manusia dibelajarkan tentang yang salah dan benar melalui dirinya sendiri dalam peran yang dijalankan di bumi ini.
“Dan siapa saja melakukan kebaikan sebesar biji sawi maka Allah akan melihat dan membalasnya dan siapa saja yang melakukan kejahatan sebesar biji sawi-pun Allah akan melihatnya dan membalasnya”.
Manusia melakukan ibadah setiap hari dengan adanya ketakutan akan neraka dan harapan akan dapat surga. Manusia berdoa ribuan kali sepanjang hari karena berharap akan terhindar dari bencana. Setelah bencana berlalu manusia akan sibuk kembali dengan dirinya.
Semakin terlihat golongan-golongan manusia yang lebih mencintai harta dunia dari pada nyawa atau nafas hidup. Jadi apa gunanya manusia diberi kesempatan hidup jika tidak lagi menghargai nafas hidup itu sendiri.
Tuhan Maha Semesta Alam memberi nafas hidup pada semua mahkluk agar semua dapat mengisi simfoni kehidupan dan seimbang dengan hukum alam semesta. Nyawa yang diberikan Tuhan pada manusia membuat apa yang tiada menjadi ada dan bergerak lalu saling terkait. Jika nyawa yang diberi oleh Yang Maha Kuasa itu digunakan hanya untuk mencari harta yang menjadi tolak ukur manusia hidup di bumi ini maka manusia tidak akan pernah kembali pada hakikat diri yang sesungguhnya dan berarti dengan jelas menyia-nyiakan Sang Pemberi Hidup yaitu Tuhan Yang Maha Pencipta.
Bencana serta cobaan yang datang justru akan membawa manusia kembali kepada asal dirinya sebagai mahkluk spiritual yang diturunkan ke alam dunia atau bumi ini untuk menjalani pengalaman hidup sebagai manusia. Tapi manusia yang sudah lupa akan dirinya akan berpikir terbalik bahwa manusia didunia berusaha mencari hakikat dirinya agar menjadi mahkluk spiritual. Manusia sangat suka memutar balikkan segala hal hanya disebabkan manusia itu tidak mau mengakui kenyataan.
Merupakan suatu tantangan pada diri manusia untuk mengakui kenyataan, tetapi manusia yang tidak mau mengakui kenyataan akan berusaha mencari pembenaran karena malu jika dikatakan bodoh atau tidak mampu dalam menjalankan tugas. Semua itu pada hakikatnya adalah menipu diri sendiri.
Sampai waktu tertentu pembenaran akan terkesan sebagai kebijaksanaan tapi jika pembenaran terus dilakukan maka sama saja manusia memelihara bara api dalam hatinya yang suatu saat juga siap membakar dirinya sendiri. Sebab walau bagaimanapun pembenaran yang terkesan kebijaksanaan itu tetap telah menyimpang dari aturan main yang ada.
Kenyataan yang tidak menguntungkan sangat sering kita tutupi agar hidup kelihatannya selalu menyenangkan. Perumpamaannya; seperti matahari menyinari tempat yang gemerlap, tetapi juga memberi sinarnya pada tempat yang dianggap najis. Apakah kita mampu mencegah matahari agar tidak menyinari tempat yang najis itu ? Seperti itulah kenyataan dunia dan kenyataan kehidupan, ada sisi yang baik dan ada sisi yang buruk. Semuanya harus dilihat dan diakui sebagai kenyataan.
Bukankah seperti itu yang terjadi sekarang di negeri kita ini, betapa banyak manusianya yang hidupnya dalam sandiwara dan kepura-puraan karena tidak mau mengakui kenyataan!! Bahkan menyembunyikan kenyataan dengan cara yang keji dengan mengadakan korban sembelihan yaitu kambing hitam.
Kepura-puraan tidak akan pernah abadi dan sandiwara tentu ada akhir, mampukah manusia bermain sandiwara sepanjang hidupnya? Ujung-ujungnya manusia akan kembali pada kenyataan.
Bayangkan jika isi manusia di negeri kita ini sebagian dari masyarakatnya, tokoh-tokohnya, pemimpin daerah dan juga wakil-wakil rakyat, dan pejabat-pejabat Negara yang wataknya terbiasa mengingkari dan tidak mau mengakui kenyataan, apa yang akan terjadi?
Sudah dapat dipastikan bahwa cahaya terang bangsa ini akan berganti dengan kegelapan karena kita tidak lagi menjadi manusia yang bertanggung jawab, berarti kitapun bukan suatu bangsa yang bertanggung jawab.
Beranikah kita mengakui tentang borok-borok yang ada dalam tubuh kita sendiri ? Beranikah kita menghadapi dan mengakui kenyataan ? Sebab hanya dengan kenyataan itu maka kebenaran ditemukan dan masa depan bangsa ini dapat dirancang.
Selagi kita terus berbuat seperti ini tumpang tindih antara pembenaran dengan kepura-puraan dalam menyelesaikan masalah apapun, maka manusia yang ada dan hidup di Bumi Ibu Pertiwi ini hidupnya tidak lagi sejalan dengan hukum keseimbangan Alam Semesta.
Tujuan semua mahluk hidup tanpa terkecuali adalah menuju pada keselarasan dan keserasian demi Hidup itu sendiri yang bersifat kekal dan teratur. Hukum-hukum alam semesta yang merupakan perangkat yang keras bagi kehidupan di bumi ini. Hukum Alam adalah hukum yang tertinggi yang tidak dapat dikompromikan oleh siapapun.
Kita masih terus sibuk menutupi kenyataan dengan pembangunan fisik saja, semestinya pembangunan jiwa dalam berbangsa dan bernegara yang lebih diutamakan saat ini.
Akal dan nafsu selalu hidup dan berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Hadirnya persaingan tidak mustahil akan membawa manusia kepada perbuatan-perbuatan yang merusak jiwa dan bhatin. Manusia bisa kehilangan kejujuran, kesabaran, dan rasa tanggung jawab. Manusia oleh dorongan nafsunya tidak akan terasa telah mengotori fitrahnya.
“Manusia se-utuh-nya adalah manusia yang belajar dari kenyataan, sedangkan manusia se-butuh-nya adalah yang belajar dari pembenaran“.
Kami yakin diantara para pembaca yang mengerti isi dan maksud dari penulisan ini akan dituntun jiwanya dan mendapat petunjuk terang. Menjadi manusia seutuhnya akan membawa jiwa pada kemenangan abadi. Alam jiwa adalah alam terang cemerlang ! Sedangkan raga akan membusuk berkalang tanah.
Akhir dari segalanya di dunia ini adalah kematian serta bertanggung jawab atas segala perbuatan selama kita hidup di muka bumi ini di hadapan Yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa.
Oleh : SKTP

[sumber;artshangkala.wordpress.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar