Minggu, 15 Januari 2012

Kisah bocah korban traficking


Kisah Nur , gadis kecil korban traficking
Namaku Nur. Aku lulusan Madrasah,..eh bukan…bukan…aku pernah sekolah di madrasah. Dulu..dulu sekali. Sebuah madrasah di tengah kota tempat aku tinggal. Sekolah yang sederhana dan murah,……sekolah yang memungkinkan anak-anak seperti aku bersekolah. Rumahku tidak begitu jauh dari madrasah. Di pinggir sungai yang besar dan kotor. Ah...sebenarnya tak benar-benar seperti rumah. Sesuatu yang dari kecil aku sebut rumah itu , sebenarnya hanyalah sebuah rombong rokok tua yang diberi sambungan atap plastik didepannya oleh ayahku. Saat kecil aku dan ibuku tidur di situ bila malam tiba. Ayahku tidur di becaknya yang diparkir di depan rumah rombongku. Sebagai anak-anak aku biasa saja tinggal di situ, sebab itulah rumahku. Masa kecilku menyenangkan.


Rumah rombongku eh...rombong rumahku bersebelahan dengan tempat pengepulan barang-barang bekas yang dikumpulkan para pemulung di jalanan. Aku kadang memulung juga. Makku memulung hampir setiap hari. Ayahku menarik becak yang mengangkut barang-barang para pemulung. Di tempat pengepulan itu aku dan teman-temanku banyak menemukan kesenangan dan kegembiraan. Di karung-karung yang dibawa bapak-bapak dan mak-maka pemulung itu selalu ada saja benda-benda yang menyenangkan yang boleh kami ambil. O, ya...aku harus memberitahumu bahwa tidak semua barang dihitung oleh juragan. Barang yang dihitung hanya barang dari plastik, gelas dan botol minum, kertas kardus, logam atau besi. Barang yang tidak dihitung boleh diambil. Jika ada buku-buku atau majalah anak-anak...juragan akan memberikan kepada kami anak-anak yang setia menunggu penimbangan.

Aku pernah mendapat sebuah kotak krayon warna yang besar dan masih lengkap warnya. Krayon...bukan pensil warna. Ini lebih gendut dan lebih empuk dari pensil warna. Wadahnya besar bergambar putri,...jumlah warnanya banyak sekali.......Sungguh aku sangat senang mendapat kotak krayon itu. Makku bilang pensil warna yang kudapat itu pasti miliknya anak orang kaya. Benda seperti itu hanya dijual di toko-toko yang besar dan tinggi dan harganya pasti mahal sekali. Kami tidak boleh masuk kesana. Kata temanku Suis, masuk ke toko seperti itu haruslah memakai baju dan sepatu baru. Memakai pita warna merah di rambut juga boleh. Seperti seorang anak berkulit putih yang pernah kulihat waktu aku diajak ngamen di depan plasa. Anak yang cantik, bajunya bergambar bunga, rambutnya halus dan panjang berpita merah. Pasti ia juga punya pensil warna seperti yang kudapat. Suis pernah dapat majalah bergambar putri-putri yang indah...ia senang sekali. Aku juga senang melihat gambar-gambarnya.

Namaku Nur. Di sekolah aku belajar banyak hal. Pernah suatu hari Bu guru mengajak kami berbincang-bincang tentang cita-cita. Cita-cita adalah sesuatu yang ingin kita lakukan jika kita dewasa nanti. Sumanti temanku ingin menjadi guru. Sumanti pintar, ia suka mengajari kami matematika. Aku harap ia bisa menjadi guru. Haryanto, temanku yang maknya tinggal di bawah jembatan bilang ia tak perlu punya cita-cita, sebab ia sudah bekerja. Tiap malam ia ikut kakaknya ke sebuah restoran donat yang besar dan sebuat hotel yang tinggi untuk mengambil sampah-sampah. Haryanto bilang ia sudah mendapat uang cukup banyak dari pekerjaan itu. Ia bahkan sudah bisa ikut arisan di mak Jumi di pasar. Kadang-kadang ia boleh membawa pulang donat-donat enak yang katanya sudah harus dibuang, padahal belum basi...lho. Sayang kan. Aku pernah makan keju seperti yang di iklan TV ya karena Haryanto membawakannya. Haryanto anak laki-laki yang kuat. Ia juga baik dan tidak nakal. Jadi kupikir boleh saja ia tidak punya cita-cita. Tapi Ibu guru bilang, Haryanto tetap harus punya cita-cita. Menjadi tukang sampah baik,..tapi jika besar nanti ia tidak boleh lagi jadi tukang sampah dan pemulung. Haryanto masih bingung membayangkan bahwa ia nanti harus berganti kerja. Imah temanku ingin menjadi pedagang. Ibunya jualan kopi di pasar saat malam tiba. Tapi Imah tidak ingin jualan kopi, ia ingin punya toko yang berjualan boneka dan mainan yang bagus-bagus.

Ibu guru bilang, kami boleh bercita-cita menjadi apa saja. Lalu kita harus bekerja, belajar dan berdoa agar cita-cita kita bisa tercapai. Ada temanku yang ingin jadi dokter. Menurutku itu mengerikan, sebab dokter harus membawa jarum suntik kemana-mana. Itu akan membat anak-anak ketakutan. Aku dan teman-temanku pernah menangis waktu ibu dokter dari Puskesmas datang untuk imunisasi. Walaupun ternyata disuntik tidak terlalu menyakitkan, menurutku menjadi dokter tetap saja menakutkan. Temanku yang lain, Pandi, ingin menjadi pemain bola. Makanya.... ia suka ikut para bonek. Bonek adalah orang-orang yang sangat suka sepak bola. Aku ingin menjadi ustazah. Itu karena aku suka mendengakan ceramah pengajian di radio makku. Makku juga suka mendengarkan ceramah. Ustazah mengajari kita agar jadi orang yang baik. Aku suka melihat mbak-mbak yang sedang belajar jadi ustazah duduk-duduk dan mengobrol di depan masjid dekat sekolah kami. Kata Suis, mereka itu mahasiswa. Mahasiswa itu mbak-mbak cantik yang bersekolah di sekolahan besar dan lebar di dekat perempatan tempat kami pernah ngamen. Atau bolehlah aku jadi perawat. Aku pernah melihatnya berkjalan di depan rumah sakit saat diajak Yono meminta-minta di sana.

Namaku Nur. Rumah rombongku terletak di dekat pengepulan. Hidupku menyenangkan.....hingga pada suatu hari saat kelas V menjelang kenaikan ke kelas VI. Malam itu aku ketakutan.....bajuku basah oleh darah. Aku ingat kata ibu guru itu tanda seorang gadis kecil menjadi dewasa. Mak membantuku membersihkan diri di kamar mandi umum dekat rumah rombongku. Kata Makku itu hal biasa bagi perempuan. Semua perempuan akan mengalaminya. Aku diajari memakai pembalut yang kami beli di warung Mak Nah. Aku tidak boleh lagi mandi di kali. Aku harus mandi di kamar mandi umum , meski itu berarti aku harus membayar 1000 rupiah untuk setiap kali mandi (Itu sudah harga langganan...kata Pak To penjaga kamar mandi). Hingga satu bulan kemudian, hidupku masih biasa-biasa saja,....aku masih menikmati kecerianku sebagai gadis kecil bersama teman-temanku, sampai pada suatu malam kudengan tangisan Makku di sela-sela suara berat ayahku. Ayahku jarang bicara....jadinya kami hampir tidak pernah mengobrol. Kata Nek Sarmi, sebenarnya ia bukan ayah kandungku. Tapi aku tidak peduli, sebab selama ini ia baik-baik saja padaku dan ibu. Ayahku juga selalu mengantarku berangkat sekolah dengan becaknya, sebelum digunakan untuk memulung.

Namaku Nur. Aku pernah sekolah di madrasah. Aku pernah ingin menjadi ustazah. Sejak pagi setelah Makku menangis itulah hidupku berubah. Makku bilang karena aku sudah besar, maka aku sudah tidak perlu lagi sekolah. Aku sudah harus bekerja,....bekerja sebagai seorang perempuan yang sudah besar. Umurku menjelang 12 tahun. Tentu aku sedih tak boleh lagi sekolah. Aku bahkan tak sempat berpamitan dengan Ibu guru yang menyayangiku. Aku juga tak bisa berpamitan dengan Sumanti, tapi aku masih sempat bertemu Suis dan Haryanto. Nanti akan aku titipkan pesan bahwa aku berpamitan. Aku pasti akan baik-baik saja. Bukankan aku akan pergi bekerja? O,ya ..aku juga tidak sempat melihat rapotku. Ah, tapi Ayahku bilang itu semua tak perlu. Aku akan segera berangkat menuju tempat dimana aku akan belajar banyak hal dan bekerja sebagai perempuan yang sudah besar....?

Dan disinilah aku sekarang...di tengah bingar musik dan kerlip lampu......Namaku Nur. Umurku 19 tahun.....Dulu aku pernah sekolah di madrasah. Aku pernah ingin menjadi ustazah atau perawat yang cantik. Seperti mbak-mbak yang kulihat di depan masjid atau mereka yang berjalan di depan rumah sakit.

(Mengenang Nur...muridku yang manis dan pendiam, yang menghilang menjelang kenaikan kelas (dari kelas V ke kelas VI), setelah menstruasi pertamanya tiba. Bagi semua gadis kecil korban trafficking...yang karena kemiskinan dan kebodohanan bangsa ini, .... tak mampu wujudkan cita-citanya semoga akhir yang baik bagi kalian semua. Bagi anak-anakku semua.......teruslah hidupkan cita-citamu)
Oleh : Asmaniyah Mardiyani

[sumber;masyumicentre.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar