Selasa, 27 Desember 2011

Menakar Diplomasi Komersial Indonesia



PDFPrint
Tuesday, 27 December 2011
Indonesia sepertinya akan menutup 2011 ini dengan cerita cukup indah, terutama bila dilihat dari pandangan hubungan internasional dan perekonomian nasional.


Sederetan prestasi diplomasi Indonesia sepanjang tahun telah terukir manis sejak mengemban keketuaan ASEAN hingga Bali Democracy Forum (BDF) awal bulan ini. Dari sisi perekonomian nasional, kinerja ekonomi makro yang stabil dan positif ditengah krisis dibelahan dunia yang lain menjadi buah kerja keras yang manis pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, catatan cerita sukses di dua bidang ini seperti kehilangan maknanya ketika memperhatikan realitas di lapangan.Mengapa?

Dimensi Internasional 

Dari dimensi hubungan internasional, Indonesia telah mengemban amanat keketuaan ASEAN 2011 dengan relatif baik. Penyelenggaraan dua kali konferensi tingkat tinggi (KTT) ASEAN selama 2011 berjalan dengan lancar. Dua bulan terakhir pada tahun ini padat dengan serangkaian pertemuan tingkat tinggi dan partisipasi Indonesia di fora internasional.

Secara substansial diplomasi Indonesia di fora internasional yang dibangun menghasilkan eksposur internasional yang sangat baik.Indonesia berhasil membawa ASEAN melangkah lebih maju dengan konsolidasi kawasan yang lebih baik serta mencoba mengangkat prestasi ASEAN ke tingkat global khususnya dengan ide ASEAN Community in the Global Community of Nations.

Kemajuan ini menjadikan Indonesia negara yang makin dihormati (well-respected). Dengan kata lain, Indonesia berhasil memanfaatkan momentum keketuaan ASEAN dalam meningkatkan leverage Indonesia dan ASEAN di mata dunia internasional. Hal ini menjadi modal kuat untuk memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia.

Dimensi Domestik 

Salah satu prestasi dimensi domestik yang patut dibanggakan pada akhir tahun ini adalah pencapaian perekonomian Indonesia yang cukup baik. Dari beberapa indikator ekonomi makro memperlihatkan stabilitas perekonomian yang positif, pertumbuhan ekonomi tak kurang dari 6% ketika belahan dunia lain mengalami kecenderungan stagnasi atau bahkan penurunan, hingga rasio utang luar negeri yang cukup aman yakni 25% dari produk domestik bruto (PDB).

Prestasi lain yang beberapa hari terakhir ini menjadi perbincangan hangat adalah kenaikan peringkat utang jangka panjang valuta asing Indonesia menjadi BB+ dari BBB- berdasarkan pemeringkatan Fitch Ratings (SINDO, 16/12). Hal ini menandai Indonesia menjadi negara yang layak menjadi tujuan investasi (investment grade).

Banyak kalangan menilai ini pencapaian simbolis penting bagi perekonomian Indonesia sejak krisis 1997.Walaupun, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menilai hasil pemeringkatan ini terlambat mengingat Indonesia telah begitu stabil perekonomiannya dalam beberapa tahun terakhir.

Tak ketinggalan Presiden SBY khusus mengadakan konferensi pers menjelaskan tentang pencapaian ini didampingi pasukan lengkap ekonomi dari kabinet maupun nonkabinet (SINDO, 17/12). Ia ingin menunjukkan citra keberhasilan kinerja pemerintahannya dengan kuatnya fundamental ekonomi.

Arti strategis dari pencapaian ini antara lain diharapkan menjadi karpet merah bagi investor asing yang pada gilirannya menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi dengan penciptaan lapangan kerja.Namun, apakah sederet prestasi itu akan serta-merta menarik minat investasi asing untuk datang ke Indonesia? Belum tentu.

Pencapaian tersebut tidak memiliki makna signifikan bila persoalan dalam negeri yang telah menahun tak kunjung selesai. Contoh kasus investasi Research In Motion (RIM) produser Blackberry yang memilih investasi di Malaysia daripada Indonesia. Serangkaian prestasi di atas yang tentu tidak muncul secara tiba-tiba itu ternyata tidak cukup mampu meyakinkan RIM untuk berinvestasi di Indonesia.

Padahal Indonesia menjadi pangsa pasar empat juta Blackberry smartphones dibandingkan Malaysia yang hanya berkisar empat ratus ribuan.Wajar jika kita bertanya kenapa? Mari kita tengok halaman rumah kita sendiri.

Persoalan infrastruktur belum memadai, kemacetan belum juga terurai, pelayanan publik masih belum beranjak dari memprihatinkan, perdebatan soal sensor konten tiada henti tanpa penyelesaian jelas, korupsi dengan berbagai diferensiasinya terus menjadi cerita bersambung di halaman muka media massa.

Belum lagi koordinasi antarkementerian/lembaga yang masih terus deadlockkarena ego kelembagaan dan yang tidak kalah penting adalah belum ada implementasi peraturan/ hukum secara tegas dan konsisten di lapangan. Para investor butuh kepastian hukum, biaya yang jelas dan dapat diperhitungkan dalam kalkulasi bisnisnya.

Bila tidak, ongkos siluman yang tak terstruktur dan terlalu tinggi akan mengurangi keyakinan mereka untuk berinvestasi, apalagi dalam proyek-proyek yang membutuhkan dana yang besar. Bila berkaca pada kasus ACFTA tahun lalu yang sempat menghebohkan dunia industri dan masyarakat umum dan kasus Blackberry pada tahun ini dapat disimpulkan bahwa diplomasi komersial kita belum berjalan efektif.

Menteri Perindustrian MS Hidayat bahkan mengakui politik perdagangan Indonesia masih lemah dan lugu. Deretan prestasi tadi sepertinya kehilangan keterkaitan dengan dimensi domestik yang lebih luas. Ke depan hal tersebut tidak boleh terjadi lagi dalam konteks menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 maupun persaingan global yang makin tajam.

Dengan bekal iklim investasi yang meningkat dan diplomasi internasional yang baik tantangan ke depan adalah bagaimana mewujudkan kekuatan dimensi domestik menjadi penyokong daya tawar diplomasi Indonesia pada dimensi internasional dan sebaliknya.● TIRTA N MURSITAMA PHD Head of Institute for Business and Diplomatic Studies, Bina Nusantara University; Pengajar Diplomasi Ekonomi Pascasarjana HI UI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar