Kamis, 24 November 2011

Mengapa Lantai Masjidil Haram Tidak Terasa Panas



Melakukan thawaf (memutari Kakbah) di malam dan siang hari memang berbeda. Jika malam hari, cuaca cukup sejuk. Karenanya, orang sekitar Mekkah jika ingin melakukan umrah biasanya dilakukan pada malam hari.

Begitu juga dengan warga di sekitar Kota Mekkah seperti Jeddah. Warga di kota yang berlokasi sekira satu jam perjalanan dari Mekkah ini, biasanya berangkat pada sore hari agar bisa salat Magrib berjamaah sekaligus melakukan umrah.

“Kebiasaan orang di sini begitu. Agak aneh kalau berangkat ke Mekkah untuk umrah pada pagi hari,” ucap guide MCH Jeddah, Sahe, yang sudah tinggal 23 tahun di Arab Saudi.

Memang suhu di Mekkah belakangan ini cukup panas berkisar antara 40-42 derajat celsius. Bandingkan dengan Jakarta yang puncak panasnya berada di kisaran 37 derajat celcius. Puncak panas biasanya terjadi pada pukul 15.00 waktu setempat. Setelah itu, terus menurun hingga malam hari.

Kru okezone sudah merasakan thawaf di malam dan siang hari. Memang kondisinya sangat jauh berbeda. Jika malam hari, melakukan thawaf tidak terlalu menguras tenaga.

Berbeda halnya jika thawaf dilakukan siang hari. Keringat sudah pasti bercucuran karena panas matahari yang menyengat.

Meski demikian yang unik, meski mengelilingi Kakbah tanpa alas kaki, namun telapak tidak terasa panas sama sekali. Padahal tempat thawaf merupakan ruang terbuka, panas matahari langsung menerpa lantai marmer.

Ini berberda dengan lantai di jalan hendak keluar dari pintu Marwah. Saat berjalan, telapak kaki berasa sangat panas bak berjalan di atas bara api. Kami berjinjit dan berlari kecil untuk menghindari panas tersebut.

Lalu kenapa di lantai tempat thawaf dan di luar masjidil haram berbeda 180 derajat. Ini menimbulkan rasa penasaran. Salah satu ummal (cleaning service) di Masjidil Haram, Udin (40), mengatakan di bawah Kakbah dan tempat thawaf memang dipasang air conditioner agar telapak kaki peziarah tidak melepuh, kepanasan.

Setelah membaca buku Sami bin Abdullah al Maghlouthm ‘Atlas Haji dan Umrah’ dan sumber lainnya, barulah terungkap. Awalnya, tempat thawaf tidak berubin marmer seperti saat ini. Dulu hanyalah hamparan pasir lapang. Barulah pada masa Abdullah Ibnu Zubair. Ubinnya saat itu bergaris lima meter dari Kakbah, hingga 1375 Hijriyah atau 1954 M di masa Raja Abdul Azis sumbangan marmer terus berdatangan. Kini lantai marmer untuk thawaf terbuat dari marmer kualitas terbaik yang mampu menahan teriknya panas matahari.

Awalnya lokasi thawaf tidak seluas sekarang, terdapat bangunan di atas Maqam Ibrahim dan juga gerbang pintu masuk sumur Zamzam.

Pada masa Raja Faisal renovasi dilakukan melanjutkan periode Raja Saud, di antaranya adalah pembongkaran bangunan di atas Maqam Ibrahim, sehingga lokasi untuk thawaf lebih lebar dari sebelumnya.

Pada masa Raja Khalid, perluasan halaman untuk thawaf kembali diperlebar. Gerbang menuju sumur zamzam dipindahkan ke dekat serambi masjid sebelah timur. Karena itulah area thawaf menjadi lebih luas dari 3.298 meter menjadi 8.500 meter, seluruh bagian Masjidil Haram lama menjadi tempat thawaf.

Kemudian, renovasi dilanjutkan pada masa Raja Fahd. Dibangunlah ruang bawah tanah. Tak hanya itu, lantai bawah tanah juga dilengkapi dengan pengatur udara AC. Pusat mesinnya dibangun di kawasan Ajyad. Air dingin dialirkan di lantai bawah tanah berasal dari tempat yang sama.

Jadi wajar saja, jika lantai yang dipakai untuk tempat thawaf tidak berasa panas sekalipun suhu udara sangat panas. Ini adalah bentuk pelayanan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi terhadap jamaah yang setiap tahun harus meninggalkan sanak keluarga di negara mereka demi melaksanakan Rukun Islam ke-5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar