Jumat, 25 November 2011

Uniknya Muslim kita



Pernahkah Anda menemukan kartu ucapan Idul Fitri dengan gambar ketupat, di luar negeri? Atau jika Anda punya
pengalaman Idul Fitri di negeri seberang (terutama negeri muslim), adakah hiasan ketupat yang menghiasi pusat
pertokoan, seperti halnya di Jakarta?
Unik, mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan muslim, dan budaya muslim, di Indonesia. Bukan hanya karena
adanya ketupat sebagai bagian dari budaya Idul Fitri. Bukan juga karena adanya Islam yang ibadahnya diinterpretasi
hanya ada tiga, hingga melahirkan Islam Waktu Telu di Lombok. Tetapi lebih dikarenakan Islam yang diinterpretasi
sedemikian rupa hingga melahirkan keanekaragaman budaya muslim di Indonesia.
Hasil dari masuknya budaya muslim di Indonesia pun tidak terlihat dari bangunan-bangunan monumental, seperti pada
masa klasik yang melahirkan candi Borobudur, misalnya. Hal itu bukan disebabkan miskinnya khasanah budaya Muslim
di bidang arsitektur. Sedang kita tahu bahwa kota-kota seperti Istanbul, Cordoba, juga Agra, merupakan ‘museum
terbuka’ yang memamerkan bentuk raya dari arsitektur yang dihasilkan orang-orang Muslim.
Mungkin hal itu disebabkan karena Islam yang ‘ditangkap’ masyarakat Indonesia tidak hanya sebatas fisik. Snouck
Hurgronye pun berpendapat bahwa Islam sangat menguasai batin penganutnya di Indonesia. Seperti yang terjadi pada
rakyat Aceh saat dibacakannya Hikayat Perang Sabil sebelum perang.
Walau demikian, tinggalan fisik (material culture) yang dihasilkan masyarakat muslim di Indonesia juga menjadi keunikan
tersendiri. Seperti halnya bentuk atap tumpang pada masjid, yang merupakan ciri khas arsitektur masjid kuno di
Indonesia.
Keunikan masyarakat Muslim di Indonesia tentu berkaitan dengan sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Sehingga kita
dapat melihat dalam konteks yang lebih luas: proses, keadaan sosial-masyarakat yang ada pada saat itu, juga budaya
pembawanya.
Beberapa Riwayat dan Catatan Sejarah
Ricklefs (1981),mejelaskan kemungkinan mengenai kontak awal Nusantara dengan penganut Islam sudah terjadi sejak
awal perkembangan Islam, yaitu abad ke-7 Masehi. Dikisahkan dalam berita Cina dari masa Dinasti Tang (618 – 907
Masehi), tentang para pedagang Arab yang berlabuh di beberapa kota dagang di Indonesia dalam perjalanannya
menuju Guangzhou dan kota dagang lain di Cina bagian selatan. Dikabarkan juga hingga ada yang menetap di pantai
barat Sumatra.
Catatan berikutnya berasal dari pengembara Italia bernama Marcopolo pada tahun1292. Dalam perjalanan pulang dari
Cina, dikisahkan Marcopolo sempat singgah di salah satu kota Islam di Sumatra. Kota itu bernama Perlak. Kemungkinan
Perlak merupakan wilayah dengan tatanan masyarakat muslim tertua di Indonesia (karena masih sedikitnya bukti untuk
disebut “kerajaan”).

indonesianmuslim.com
Indikasi mengenai kerajaan Islam tertua didapat berdasarkan nisan kubur yang ditemukan di Aceh. Dalam nisan tersebut
tertera nama Malikus Saleh, lengkap dengan gelarnya: Sultan. Inskripsi pada nisan tersebut adalah bukti tertua yang
memperlihatkan corak kekuasaan-politik Islam di Indonesia. Dan angka tahun yang tertera pada nisan menunjukkan
tahun 696 Hijriah atau sekitar abad ke-13 Masehi.

Namun nisan tersebut bukan merupakan bukti arkeologi tertua mengenai adanya komunitas masyarakat muslim di
Indonesia. Di Leran, Gresik, ditemukan inskripsi pada nisan yang mencantumkan nama Fatimah binti Maimun. Angka
tahun pada nisan memperlihatkan tahun wafat pada tahun 475 Hijriah atau sekitar abad ke-11 Masehi.
Bahkan pada tahun 2004 ditemukan bangkai kapal dari awal abad ke-10 Masehi, di perairan Cirebon, Jawa Barat.
Beberapa macam benda (kemungkinan mata uang) dengan tulisan arab tercatat sebagai salah satu muatannya. Bisa
jadi itu adalah bukti awal kontak Indonesia dengan pedagang Muslim.
Dari temuan nisan Fatimah binti Maimun dan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, didapat kemungkinan kontak awal Islam
ke Indonesia berasal dari Gujarat. Karena nisan-nisan dengan bentuk serupa banyak ditemukan di Gujarat. Selain itu,
terdapat kesamaan mazhab antara mayoritas muslim di Indonesia dengan di wilayah India, seperti Malabar , yaitu
mazhab Syafii.
Akan tetapi, terdapat pula kemungkinan lain mengenai masuknya Islam ke Indonesia, selain dari Arab dan India, yaitu
dari Cina dan Persia. Dalam berita Cina yang ditulis Ma Huan (1413 – 1415 Masehi) mengenai kota-kota pesisir di Jawa,
disebutkan tentang adanya orang Tang yang bermukim. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa Raden Patah
merupakan keturunan Kertawijaya dari istrinya yang berasal dari Cina (atau Campa?). Sedangkan mengenai teori Persia
berasal dari ditemukannya budaya-budaya Persia (Syiah) seperti Tabuk, di beberapa wilayah Sumatra.

Proses Islamisasi di Indonesia
Beberapa contoh di atas memperlihatkan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui proses yang damai. Tidak ada
riwayat yang mengisahkan tentang penaklukan wilayah.
Para pedagang merupakan kontributor terbesar dalam dakwah Islam di Nusantara. Adapun cara-cara yang mereka
lakukan adalah membentuk komunitas muslim, yang tentunya menyebar lebih cepat setelah menikahi penduduk
setempat. Selain itu kontak intensif yang dilakukan dengan penduduk setempat menyebabkan terjadinya transfer
pemahaman akan Islam (nashrul fikroh). Selanjutnya hal tersebut berkembang menjadi institusi pendidikan seperti
pesantren, dan juga tarekat.
Bicara pendidikan, tentu sulit untuk melepaskan peranan kaum sufi sebagai salah satu golongan pembawa Islam ke
Indonesia. A. H. Johns (1987) mencatat bahwa sejak Baghdad jatuh ke tangan orang-orang Mongol pada tahun 1258,


endanesia


kaum sufi mulai menyebar ke wilayah di luar Timur Tengah, termasuk Asia Tenggara. Maka berkembanglah beberapa
tarekat sufi seperti Satariyah dan Naqshabandiyah, bahkan hingga ke kalangan istana.
Kelak atas jasa para sufi-lah, Islam di Indonesia memainkan peran signifikan di dunia Muslim. Tercatat nama Hamzah
Fansuri, tokoh sufi dari Aceh pada abad ke-16 17, sebagai peletak dasar bagi peranan bahasa Melayu sebagai bahasa
keempat di dunia Islam, setelah Arab, Persia, dan Turki Utsmani.
Selain itu, tercatat pula media kesenian sebagai salah satu sarana dakwah. Walau kesenian Islam bersifat antiikonik
(sebagai manifestasi ajaran Islam yang menolak berhala), para pembawa Islam memperhatikan cara berdakwahnya
secara bijak. Kesenian seperti wayang pun dimodifikasi sebagai sarana dakwah efektif dalam mengenalkan Islam ke
masyarakat.
Lalu, secara perlahan komunitas-komunitas kecil tersebut mulai menunjukkan pengaruhnya di masyarakat. Tidak hanya
di kalangan para kawula, Islam pun mulai diperhatikan kalangan istana. Beberapa raja pun kemudian menganut Islam.
Dari wilayah barat Indonesia seperti Samudra Pasai di Aceh, Demak di Jawa, hingga wilayah timur Indonesia seperti
kerajaan Ternate-Tidore di Maluku Utara. Dengan dianutnya Islam oleh kalangan penguasa, perkembangan Islam di
Indonesia pun semakin pesat.

Beragam Warna
Dari uraian di atas, terlihat bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia merupakan faktor penting yang menimbulkan
keunikan budaya muslim di Indonesia. Islam tidak datang melalui penaklukan, seperti di beberapa wilayah lain. Adapun
yang terjadi adalah sebuah proses untuk saling memahami: Antara para pembawa Islam dengan masyarakat Indonesia,
sebelum akhirnya memutuskan menganut Islam.
Sedangkan dalam proses saling memahami, memungkinkan budaya pra-Islam yang masih dapat ditemukan pada masa
Islam. Tetapi tentu saja dengan bentuk yang dimodifikasi sesuai dengan nilai-nilai Islam. Hingga akhirnya kita mengenal
selamatan, wayang, juga huruf Arab Pegon (huruf Arab dengan bahasa lokal, seperti Melayu dan Jawa).
Hal itu menunjukkan adanya local genius, atau kemampuan bertahannya sebuah budaya terhadap budaya luar yang
masuk, yang dimiliki masyarakat Indonesia. Dan itulah yang menjadikannya unik.
Tentu yang menjadikannya menarik adalah cara masyarakat menghadapi, atau menginterpretasi, suatu budaya baru
yang masuk ke dalam lingkungan masyarakatnya. Dalam hal ini, budaya baru itu adalah Islam, dan lingkungan
masyarakatnya adalah masyarakat Indonesia. Jadi kurang tepat apa yang dislogankan Jaringan Islam Liberal beberapa
tahun silam: “Islam: Warna-warni”. Kalimat yang lebih tepat adalah: “Muslim: warna-warni


http://endanesia.com








Tidak ada komentar:

Posting Komentar