Jumat, 27 April 2012

Korban dari Selembar Ijazah




Saturday, 28 April 2012
Saat memperdebatkan perlunya ujian nasional diadakan atau tidak, sudah sering diingatkan bahwa mutu pendidikan tidak bisa semata- mata diukur dari hasil yang didapatkan.Kendati demikian, penguasa tetap bertahan seolah-olah bahwa satu-satunya jalan untuk mengukur sekaligus meningkatkan mutu pendidikan nasional adalah melalui ujian nasional.



Ukuran Mutu


Kini dapat diketahui bersama, pada saat semua insan pendidikan dan masyarakat luas menjadikan ujian nasional sebagai ukuran utama mutu pendidikan, berbagai cara ditempuh untuk menghindari “hukuman sosial”gagal dalam memenuhi standar nilai ujian nasional. Ujian nasional tak lagi menjadi sarana untuk mengevaluasi hasil pendidikan, tapi sebagai tujuan itu sendiri. Lolos dalam ujian nasional adalah sebuah kebanggaan tak terkira, seolah seseorang sudah terhindar dari sebuah jebakan.

Sebaliknya, kegagalan di dalamnya adalah sebuah petaka. Kita semua melihat insan pendidikan yang menjalani proses pendidikan hanya teruntuk lolos dari sebuah proyek yang bernama ujian nasional. Dalam situasi seperti ini, pendidikan akibatnya sering kehilangan maknanya daripada mengejawantah sebagai proses untuk memperbaiki budi manusia, mencerdaskan, mendewasakan, dan membebaskan manusia dari belenggu. Ia bahkan sering menjadi belenggu itu sendiri.

Atas semua itu, masihkah ada perkenan dari penguasa untuk memberi ruang pada kritik yang menyatakan ujian nasional tak lebih sebagai sebuah topeng kegagalan penguasa memberikan pencerdasan kepada warganya? Ujian nasional tak lebih sebagai sebuah pekerjaan sia-sia dan seringkali memaksa orang justru terseret arus bertingkah laku buruk? Kecurangan guru pada ujian akhir nasional (UAN) selama ini tentu bukanlah gosip baru.

Kabar burung para guru yang seringkali “terpaksa” membantu siswa-siwa mereka agar lulus UAN––mulai dari mendongkrak nilai sampai memberikan kunci jawaban ujian––sudah kita dengar sejak beberapa tahun lalu, sejak UAN dijadikan sebagai parameter utama mengukur kualitas pendidikan siswa dan sekolah. Itu terjadi akibat harga diri institusi sekolah hanya berada di kisaran nilai alias angka. Masyarakat melihat kualitas pendidikan berasal dari angka kelulusan, bukan materi yang bermakna dan budi pekerti yang tercipta.

Sekolah ingin mempertahankan harga diri itu dengan berbagai langkah yang bisa “menyelamatkan” muka institusinya, dan tidak terlalu harus dirisaukan apakah langkah itu bertentangan dengan hati nurani atau tidak. Itulah setidaknya hasil terbesar dari proyek UAN selama ini. Dan kebijakan pendidikan kita selama ini masih mempertahankannya dengan berbagai argumen.

Benang Kusut Pendidikan Nasional

Benang kusut pendidikan nasional sudah sangat layak diprihatinkan secara serius. Berbagai kesemrawutan sistem pendidikan nasional perlahan-lahan menjadi budaya yang dilegitimasi secara tak langsung oleh kebijakan penguasa. Makna pendidikan pun semakin lama sesemakin menjauh, bahkan tercoreng. Ujian nasional seolah menjadi momok yang menakutkan bagi setiap siswa, guru, dan orang tua.

Tentu juga pemerintah. Di beberapa daerah terdapat kepala daerah yang membusungkan dada karena angka kelulusan siswa yang meningkat, tapi di daerah lain yang angka kelulusan siswanya rendah terdapat mereka yang memarahi jajaran dinas pendidikannya karena dianggap gagal. Semua itu diukur dari ujian nasional. Persis. Tanpa sebuah pertanyaan mendasar apakah sungguh benar mengukur mutu pendidikan dari ujian nasional.

Masyarakat terjebak pada formalitas, angka, nilai, dan ijazah. Akibat itu muncul berbagai perilaku tak pantas seperti jual beli ijazah, kunci jawaban ujian, kecurangan guru, dan hal-hal memprihatinkan lainnya. Semuanya berasal dari masalah yang sama yakni proyek besar yang bernama ujian nasional. Standardisasi, uniformisasi, dan segala pemusatan mutu pendidikan pada akhirnya mengabaikan pendidikan sebagai sebuah proses belajar yang berada di area lokal, belajar untuk memahami diri dan lingkungan sekitarnya.

Mencetak Kegagalan

Itu semua adalah fenomena kecil yang nyata dalam dunia pendidikan kita. Tanpa kita sadari, itulah hasil dari ujian nasional sebagai satu proyek raksasa dunia pendidikan kita. Itulah yang dianggap sebagai kesuksesan itu. Betapa naifnya. Ujian nasional telah mencetak anak didik sekaligus para gurunya menjadi ”pencuri”. Umumnya seseorang ”mencuri” atau melakukan ”pelanggaran” lainnya karena terdesak. Perilaku itu dilakukan dengan nekat.

Mereka terdesak oleh citra pendidikan semu bahwa keberhasilan pendidikan hanya diukur dari presentasi kelulusan siswa.Dan ”kesemuan” itulah yang hingga kini dipertahankan. Pemerintah tidak pernah memikirkan mengapa seorang ”mencuri soal ujian”, “mencontek”,“ membocorkan kunci jawaban”, melainkan mengutuknya sebagai tindakan yang ”mencoreng”. Mereka berani mencuri karena sebab arah pendidikan kita yang ”merasa benar” sendiri.

Arah pendidikan yang penuh dengan kepalsuan dan berdiri di atas simbol-simbol ketidakpastian. Inilah bukti sentralisasi yang paling nyata dalam sistem pendidikan kita kendati semangat desentralisasi sudah digembar-gemborkan. Ujian nasional menjadi momok yang paling mengerikan bagi siswa, guru, dan sekolah karena bila mereka gagal dalam kontes itu, kegagalan dan kesuraman masa depan sudah berdiri di depan mata.

Mereka yang tidak lulus itulah mereka yang gagal.Nyata sudah bahwa salah satu dampak nyata proyek ujian nasional ini ”secara tak pernah disadari” adalah untuk mereproduksi kegagalan demi kegagalan. Ujian nasional adalah ajang untuk melahirkan mereka yang kecewa dengan ukuran sentralistis.

Pendidikan kita jadi semu karena manfaatnya hanya untuk mencetak siswa yang gagal. Anak didik dikorbankan dan kualitasnya dimundurkan hanya oleh selembar ijazah. Mereka tak berkutik oleh kebijakan pendidikan yang semakin lama semakin tidak tentu arahnya. BENNY SUSETYOPemerhati Pendidikan, Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar